Mohon tunggu...
Yuni Retnowati
Yuni Retnowati Mohon Tunggu... Dosen - Biarkan jejakmu menginspirasi banyak orang

Dosen komunikasi penyuka film horor dan thriller , cat lover, single mom

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Hati Perempuan (Bagian 7: Pengorbanan Cinta)

1 Maret 2020   12:44 Diperbarui: 1 Maret 2020   12:45 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pembicaraan mereka beralih ke hal lain sampai akhirnya menembus hal-hal pribadi. Sepertinya Bu Via ingin mengungkapkan kenapa masih melajang sampai  usia menjelang empat lima. Khalisa mulai paham penyebab semuanya. Tidak seharusnya menghakimi seseorang dengan prasangka. Ada sejumlah alasan  kenapa Bu Via terkesan sangat terutup dan menjaga jarak dengan lelaki..

Via tidak bisa mengekspresikan perasaannya sejak masih kecil.  Roman mukanya datar walaupun  perasaannya bisa saja  senang, sedih, marah atau kecewa . Dia sendiri tak tahu kenapa bisa seperti itu. Dia jarang menangis atau tertawa semasa anak-anak. Ketika lulus SMA dan diterima masuk pergutuan tinggi tanpa tes reaksinya biasa saja. Padahal teman-temannya baru mendapat kabar lulus ujian saja sudah meloncat-loncat kegirangan dengan wajah yang tak henti melebarkan senyuman.

Kalau mau dirunut ke masa kecilnya barangkali bisa menemukan jawabannya. Via dan adik-adiknya terpaksa tinggal terpisah dari orang                  tuanya sejak usia yang masih sangat belia. Via baru baru kelas tiga SD sedangkan dua adiknya perempuan dan laki-laki masih kelas satu SD dan TK. Karena Bapaknya bekerja di pertambangan maka sering berpindah-pindah tempat tugas. Agar tidak menyulitkan maka diputuskan  anak-anak ditemani pembantu menetap di Kendari.  

Ibu akan menemani mereka pada saat ulangan umum dan ujian saja. Mereka bisa bersama Ibu paling lama hanya dua minggu. Di luar waktu itu, anak-anak harus puas hanya ditemani dan dilayani pembantu. Mereka harus bisa mengatasi masalah-masalahnya sendiri sejak usia anak.  Tanpa disadari  keadaan itu membuat mereka menjadi berbeda dibanding teman-temannya. Via kesulitan mengekspresikan perasaannya karena sekian lama harus menanggung semuanya sendiri. 

Susah senang, takut ataupun jengkel  memang harus dipendam sendiri sejak kecil. Sementara adik perempuannya yang menyimpan kemarahan kepada orangtua sepanjang hidupnya menjadi begitu tak peduli pada lingkungan sekitar. Adik bungsunya yang laki-laki hampir mirip dengan Via. Pendiam, tertutup dan tanpa ekspresi.

Di usia remaja Via masih tetap berwajah beku. Menyimpan semua rasa sendiri. Merasa sanggup menjalani hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Pembantunya hanya membersihkan rumah, mencuci dan menyiapkan makan. Urusan lain menjadi tanggung jawab masing-masing. Via tak punya banyak teman. Jarang bisa dekat dengan seseorang. Apalagi dengan lawan jenisnya. Pernah dia mencoba bersikap ramah kepada laki-laki ketika sudah mulai kuliah. Sayangnya keramahannya diartikan lain sehingga dia ketakutan ketika lelaki itu mencoba mendekatinya. Sejak saat itu Via tak mau lagi bersikap ramah atau berwajah manis di depan laki-laki. Seluruh hidupnya kemudian hanya difokuskan untuk belajar dan bekerja.

            "Setiap manusia punya peran yang berbeda-beda selama hidupnya di dunia ini . Begitu pula dengan perempuan. Ada yang diberi tugas untuk berproduksi saja seperti saya. Ada juga yang hanya melakukan tugas reproduksi seperti Ibu kos kita. Di samping itu ada yang menyandang dua peran sekaligus seperti Bu Lisa. Produksi dan reproduksi ," urainya mencoba memaknai tugas hidupnya.

            "Iya, betul juga. Allah sudah begitu adil mengatur semuanya yang terbaik untuk kita," pupus Khalisa menyadari perannya.

            "Saya paling tidak suka kalau di kantor ada Ibu-ibu yang tidak bisa memilah-milah antara pekerjaannya di sektor publik dan domestik. Ada tugas ke luar kota dari kantor dia masih saja ingat anak dan suaminya. Mestinya kalau bekerja harus fokus. Tapi saya pikir-pikir semuanya sudah diatur sedemikian rupa supaya terjadi keselarasan. Selain ada perempuan seperti itu, ada perempuan seperti saya yang bisa berkonsentrasi penuh pada pekerjaan tanpa diganggu urusan domestik."

Khalisa mengangguk-angguk membenarkan jalan pikiran Bu Via meskipun dia tak sepenuhnya bisa melepaskan diri dari urusan domestik. Malahan pernah terbersit keinginannya untuk berhenti bekerja di sektor publik agar bisa sepenuhnya menjadi Ibu bagi Gea. Pernah ingin  secara total menjadi penulis profesional yang melakukan pekerjaannya di rumah. Namun karena ternyata sulit untuk bisa mengandalkan hidup sebagai penulis,  Khalisa tetap harus bekerja. Mereka membutuhkan uang secara rutin untuk  bertahan hidup . Menulis mungkin benar  bisa menghasilkan uang tapi tidak bisa diharapkan seperti gaji bulanan yang diterima secara rutin dalam jumlah yang sama. Dengan jumlah gaji itulah dibuat pengelolaan keuangan setiap bulan.

Suara HP Khalisa dari kamar memanggil-manggil sehingga dia berlari meninggalkan Bu Via yang masih duduk menatap hamparan sawah di sisi samping rumah. Hanya tertera nomor HP yang tak dikenal tapi dijawab juga. Siapa tahu ada kabar penting yang disampaikan untuknya. Mungkin juga teman lama yang sudah berganti nomor.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun