Mohon tunggu...
Wiatmo Nugroho
Wiatmo Nugroho Mohon Tunggu... -

hamemayu hayuning Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Drupadi Show

27 Juni 2017   00:26 Diperbarui: 27 Juni 2017   00:45 592
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Dewata, malu tak bisa kutanggung lagi!” seumur hidup tak mungkin aku bisa mengalaminya biarpun hanya sekali,” ia berkata-kata dengan tubuh telanjang, bersimpuh tak berdaya.

“Aku mohon dewata. Baiklah kalau aku dibuat beruntung oleh jaman untuk menyembuhkan luka, maka hanya dengan mencuci rambutku saja dengan darah Dursasana kiranya lukaku akan sirna,” kata Drupadi meminta.

Batara guru tampaknya tersihir oleh molek tubuh itu.

Ia mengucap kata, “Baiklah, Putriku! Baiklah dukamu akan sirna di satu saat ketika perang besar antar saudara itu terjadi!”

Sekejap Semar menyambar tubuh Drupadi yang jatuh terkulai pingsan begitu Batara Guru selesai berbicara. Di antara deru angin, yang mengombang-ambing ombak di lautan, di antara badai yang kaget oleh kata-kata Batara Guru, Semar dengan tubuh lunglai itu kembali dalam sidang raja dan ksatria terhormat itu. Ia menyahut tubuh Drupadi yang masih terlilit kainnya dibawa kabur keluar istana. Serentak para Pandawa itu mengikutinya. Kurawa mengejar. Bima dan Arjuna menghadang dengan gada dan panahnya.

Suara musik bercenang-cenung, bak-buk-bak-buk, piringan hitam yang cerewet digesekkan, dan drum berselang seling dengan gong, menjadikan suasana terlalu ramai.


Aktor-aktor berperang beradu kuat memenuhi panggung. Lama mereka berperang. Terlihat beberapa aktor berbaju putih membawa bendera merah, digerakkan ke kanan, ke kiri, ke atas, ke bawah. Makin lama makin banyak. Hingga akhirnya terlihat Pandawa lebih kuat dari Kurawa. Kurawa tak kuasa lagi mengejar. Perang berhenti. Bendera merah itu satu persatu menghilang.

Dalang kembali bercerita, musik diam, senyap.

“Penonton sekalian, ada darah telah tumpah, diawali oleh bara Drupadi yang bersumpah. Dan inilah puncaknya, jauh waktu sesudah sumpah itu, perang besar antar saudara itu terjadi.”

Selesai dalang berbicara, dua wanita telah mengisi panggung diterangi lampu sorot. Hanya mereka yang terlihat, selain itu gelap. Mereka berdua menari, gelisah, dengan rambut panjang yang tak tertata. Mereka bergerak, ke sini ke sana. Lalu suara mereka terdengar, memperbincangkan saudara-saudara, suami-suami, anak-anak mereka, yang telah berperang, kalah, mati, menjadi korban. Panjang mereka bercerita tentang perang itu, dari mana mulai, penyebab, siapa lawan dan ketidakberdayaan mereka. Dari pembicaraan itu jelas pula mereka adalah Drupadi dan Kunti, ibunda para Pandawa.

Lampu terang benderang, memperlihatkan panggung dengan dua orang itu, dan di layar, bayangan-bayangan yang saling berperang. Dua aktor itu masih bicara, jelaslah bayangan itu adalah medan laga perang saudara, Kurawa-Pandawa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun