“Jangan berulah Dursasana” kata Bima menggertak.
“Sebaiknya yang ingin kau ucapkan, ucapkanlah. Jangan dengan berbisik, menimbulkan prasangka buruk bagi kami,” kata Arjuna menimpali.
“Lho!? Bima, Arjuna, barang ini milikku sendiri, pribadi, kenapa harus mengikuti kehendakmu?” Dursasana menunjuk bibirnya.
“Ini permainan, bukan milikmu sendiri. Ada peraturan,” Bima berkata dengan emosi.
“Sudahlah Bima yang perkasa” Sangkuni menengahi dengan kata-kata yang menentramkan, namun entah berujung kemana.
“Bima ingatlah, kakakmu sudah kalah, kalian sudah kalah. Sebagai ksatria hendaklah kalian berpikir, bagaimana merebutnya kembali.”
Pandawa terduduk terpaksa.
Penonton terdiam, seperti aku. Mereka dengan tenang mengikuti apa yang Sastri mau. Sastri tidak peduli pada penonton, tidak pernah peduli; penonton yang diam itu bisa saja tidur, bisa saja memperhatikan, tetapi selalu saja tak pernah dilihat, apa benar mereka itu menonton atau malah tidur. Dan itu sama saja dengan penonton hanya menjadi objek. Ya, seperti Drupadi, penonton sebenarnya disia-siakan. Drupadi dieksploitasi, penonton diacuhkan begitu saja, seperti mereka bukan manusia, tetapi sumber daya. Ya, sumber daya finansial itu saja. Mereka diberi, diberi dan diberi saja, tanpa pernah diajak berdialog.
“Prabu, sebaiknya kau coba jurusmu sekali lagi,” kata Sangkuni berharap menang telak.
Bisma raja yang menjadi pandita, tersentak melihat gelagat buruk, “Apa yang akan kau lakukan Sangkuni?”
“Mengembalikan apa yang Pandawa punya, karena mereka adalah ksatria besar, tak pantas kalah,” Sangkuni tak takut sama sekali.