“Apakah mereka mau ingkar?” tanya sangkuni berbalik, kerena Dursasana sudah tiba lagi.
”Dia tidak mau Paman,” Dursasana tak tahu harus bagaimana.
“Pokoknya bawa dia ke sini! Buatlah janji para ksatria ini menjadi sempurna,” jawab Sangkuni.
Kekerasan, verbal dan aktual, itulah yang sedang ditawarkan, tak ada yang lain. Seperti aku, biasa juga menawarkannya pada mereka yang duduk di kegelapan tak berdaya. Kekeraan yang masif, dari awal hingga akhir, ditata rapi cantik dan gagah, tak ada yang lain, sebenarnya tak ada kreatifitas. Kata-kata, percakapan-percakapan, gerakan-gerakan, juga panggung, semuanya sebenarnya berbicara tentang kekerasan. Begitu juga aku, menyukainya, menampilkannya. Penonton adalah Drupadi yang tak berdaya, juga Pandawa yang diagung-agungkan, diposisikan di dua tempat sekaligus. Dan mereka diam saja, sampai akhir.
Sunyi, panggung disunyikan oleh sang dalang. Pandawa dan Kurawa diam dengan dirinya masing-masing.
“Tunggulah tunggu bila kau sanggup melawan sang waktu. Hai para ksatria, mampukah kamu?” kata dalang yang tak terlihat memberi cerita pada kami.
Para Pandawa tertunduk. Para pembesar kerajaan pun begitu.
“Semar? Dimana semar? Dialah rakyat sejati, yang tahu rasa kesedihan, yang tahu rajanya yang sedang malang. Hanya dia yang tahu harus berbuat apa, hanya dia yang bisa merasa semuanya,” kata dalang melanjutkan narasi setelah jeda sunyi.
Semar duduk di pojok dekat penonton, wajahnya menengadah, diam. Badannya tambun, pantat menjuntat seperti bokong belalang, dada besar seperti dada wanita, perut buncit tak ketulungan. Bibirnya menyungging senyum, mata tertutup. Dia tidur. Tak ada sesal, tak ada kesia-siaan. Gareng Petruk dan Bagong keluar dari sana karena tak tega.
Di layar, tergambar bayangan-bayangan membentuk burung-burung yang kalang kabut. Musik membentuk kesan ribut. Tampaknya keributan terjadi jauh di sana. Bayangan raksasa Dursasana menggendong Drupadi yang meronta, menyeret, menjambak, memaksa membawanya kepada sidang.
“Jangan mempersulit dirimu wanita cantik!” suara membentak Dursasana, lalu menggendong berlari.