Rentan Overthinking & Perfeksionis?
Salah satu alasan utama adalah budaya performatif yang sangat kuat di kalangan Gen Z. Sejak remaja, mereka hidup dalam lingkungan digital yang mendorong penampilan, pencitraan, dan validasi publik.
Sedangkan di media sosial, mereka terbiasa mengedit caption, memilih angle terbaik, dan memoles narasi hidup agar terlihat ideal. Ketika kebiasaan ini dibawa ke dunia profesional, proses interview pun menjadi arena ‘panggung’ lain yang harus ditaklukkan dengan penampilan tanpa cela.
Kedua, Gen Z dibesarkan dalam ekosistem meritokrasi yang menekankan bahwa pencapaian adalah ukuran utama nilai seseorang. Mereka didorong untuk punya nilai tinggi, memenangkan lomba, ikut organisasi, dan membuktikan diri lewat deretan prestasi. Akibatnya, mereka takut jika satu jawaban yang salah atau terlihat ‘biasa saja’ akan menghapus semua pencapaian tersebut. Inilah yang membuat tekanan interview terasa sangat besar.
Ketiga, akses informasi yang berlimpah—baik dari YouTube, TikTok, maupun kursus online—membuat Gen Z membanjiri diri mereka dengan tips, template, dan strategi menjawab pertanyaan interview. Di satu sisi, ini baik. Tapi di sisi lain, terlalu banyak referensi membuat mereka bingung dan kehilangan suara asli mereka sendiri. Mereka terlalu sibuk memikirkan formula yang tepat, bukan makna dari pertanyaannya.
Keempat, banyak Gen Z yang belum cukup mendapatkan ruang untuk gagal. Dari sekolah hingga dunia kuliah, kegagalan kerap ditanggapi dengan hukuman, bukan pembelajaran. Maka ketika menghadapi interview yang bisa berujung pada penolakan, mereka melihatnya sebagai bentuk ‘gagal total’ yang memalukan. Padahal, interview pertama bukan soal berhasil langsung, melainkan proses eksplorasi dan belajar tentang cara berkomunikasi di dunia kerja.
Faktor kelima adalah tekanan ekonomi dan sosial yang mereka hadapi. Banyak dari Gen Z yang menjadi tulang punggung keluarga, atau setidaknya merasa mereka harus cepat “mapan”. Akibatnya, mereka menaruh harapan besar pada satu sesi interview, membuatnya menjadi momen hidup-mati. Di bawah tekanan sebesar ini, overthinking dan perfeksionisme pun berkembang biak dengan cepat, menghancurkan peluang tampil maksimal.
Bagaimana Overthinking & Perfeksionisme Muncul?
Dalam praktiknya, overthinking dan perfeksionisme memiliki pola-pola khas saat interview berlangsung. Salah satu momen paling umum adalah ketika ditanya, “Ceritakan tentang diri Anda.” Pertanyaan ini tampak sederhana, tapi justru membuat banyak Gen Z diam cukup lama. Mereka takut terdengar terlalu biasa, terlalu narsis, atau malah terlalu random. Padahal, pewawancara hanya ingin mendengar narasi jujur yang menggambarkan kepribadian dan motivasi mereka.
Hal yang sama terjadi saat ditanya soal kelemahan. Banyak kandidat Gen Z memberikan jawaban yang sangat terjaga, seperti “Saya terlalu perfeksionis,” atau “Saya terlalu fokus dengan detail.” Ini bukan karena mereka tidak punya kelemahan nyata, tapi karena takut dianggap tidak kompeten. Mereka lupa bahwa pewawancara menghargai self-awareness dan kemampuan mengelola kekurangan—bukan menyembunyikannya.
Pertanyaan seputar pengalaman kerja atau proyek pun sering dijawab dengan deskripsi teknis tanpa emosi atau konteks. Ini terjadi karena mereka berusaha menyusun jawaban yang terdengar pintar dan ‘siap jual’, alih-alih menyampaikan proses, tantangan, atau hal yang mereka pelajari. Akibatnya, jawaban terasa seperti presentasi PowerPoint, bukan percakapan hangat.