Saat-saat menghadapi interview dengan perekrut kerja, masih banyak Generasi Z beranggapan bahwa proses tersebut seperti ujian yang harus dijawab dengan benar. Padahal, wawancara kerja bukanlah soal jawaban benar atau salah. Inilah yang kerap menjadi hambatan psikologis yang kerap menjadi kendala dalam interview kerja Gen Z.
Boleh jadi, persepsi ini yang membuat Gen Z menjadi lebih fokus pada persiapan untuk memberikan jawaban yang benar atas setiap pertanyaan perekrut ketimbang aspek-aspek lainnya seperti rasa percaya diri, penampilan, sikap dan respons alami selama wawancara.
Maka, tidak heran kalau antusiasme Gen Z dalam forum pencarian kerja baik secara daring maupun luring lebih memprioritaskan pada persoalan bagaimana menjawab pertanyaan-pertanyaan pewawancara ketimbang sikap profesional yang lahir dari respons alami terhadap pertanyaan yang diajukan.
Kegamangan Gen Z ini semakin nyata ketika mereka sedang menanti saat-saat giliran mereka untuk diwawancara secara langsung tiba hanya dalam hitungan menit. Mereka duduk dengan gelisah di balik ruang interview dengan ratusan pertanyaan imajinatif yang muncul tiba-tiba di dalam kepala mereka.
Padahal, di tangannya ada print out daftar pertanyaan umum wawancara yang sudah ia baca ratusan kali. Hatinya berdebar, matanya menyapu ruangan, dan pikirannya penuh dengan kalimat: “Kalau ditanya soal kelemahan, jawab apa ya? Kalau mereka nanya tentang proyek terakhir, harus mulai dari mana?”
Interview merupakan salah satu tahapan paling krusial dalam proses rekrutmen karyawan karena menjadi momen penentu bagi perusahaan untuk mengevaluasi kandidat secara langsung, tidak hanya dari sisi kemampuan teknis, tetapi juga kepribadian, motivasi, dan kesesuaian budaya kerja.
Melalui interview, perusahaan bisa menggali informasi yang tidak tercantum di CV, seperti cara kandidat berpikir, merespons tekanan, dan berkomunikasi secara interpersonal.
Ini juga menjadi kesempatan untuk menilai apakah nilai-nilai kandidat sejalan dengan visi dan misi perusahaan, yang pada akhirnya memengaruhi keberhasilan jangka panjang dalam bekerja sama.
Selain menjadi alat seleksi bagi perusahaan, interview juga memberi ruang bagi kandidat untuk menilai apakah posisi dan lingkungan kerja yang ditawarkan sesuai dengan harapan dan kebutuhan pribadi mereka.
Interaksi dua arah ini menciptakan transparansi dan saling pengertian antara perusahaan dengan kandidat sebelum menjalin hubungan profesional.
Oleh karena itu, esensi interview tidak semata-mata soal menjawab pertanyaan dengan benar, tetapi membangun koneksi yang transparan, menunjukkan potensi, dan mencari kecocokan yang saling menguntungkan antara kandidat dan perusahaan.
Interview Kerja di Mata Gen Z
Bagi banyak Gen Z, interview bukan lagi soal mempersiapkan diri, tapi mengendalikan kegelisahan atas semua skenario yang mungkin terjadi.
Fenomena ini bukan hal baru. Banyak pewawancara HRD maupun profesional karier menyaksikan kandidat-kandidat muda yang memiliki CV kuat dan kemampuan teknis mumpuni, tetapi justru kesulitan mengekspresikan potensi mereka saat sesi wawancara berlangsung.
Ekspresi keraguan dan kecemasan dari langsung muncul dari suara yang parau, narasi pengalaman yang stagnan, hingga ekspresi wajah penuh dengan kecemasan yang sulit disembunyikan. Padahal, yang diuji bukan hanya apa yang mereka tahu, tetapi bagaimana mereka mengkomunikasikan siapa diri mereka.
Gen Z, generasi yang dikenal adaptif, kreatif, dan berpikiran terbuka, justru kerap mengalami titik buntu dalam proses interview. Bukan karena kurang kompeten, tetapi karena overthinking dan perfeksionisme yang mengunci spontanitas dan kejujuran mereka.
Alih-alih tampil apa adanya, banyak dari mereka terjebak dalam keinginan untuk tampil ‘sempurna’, tetapi dalam prosesnya, kehilangan koneksi manusiawi yang sebenarnya dibutuhkan dalam percakapan profesional.
Bagi sebagian Gen Z, interview kerja yang seharusnya menjadi ruang interaksi dua arah, justru terasa seperti ujian nasional versi dewasa. Ketika proses ini dirasakan sebagai medan evaluasi mutlak, tekanan untuk menjawab dengan benar menjadi lebih besar dari dorongan untuk jujur dan terbuka.
Di sinilah letak paradoksnya: dorongan untuk aktualisasi diri secara perfeksionis justru membuat Gen Z menjadi overthinking sehingga gagal menunjukkan siapa mereka sebenarnya.
Lantas, mengapa overthinking dan perfeksionisme menjadi musuh dalam ruang yang seharusnya jadi peluang? Bagaimana dua hal yang tampak sepele ini bisa menjauhkan Gen Z dari kesempatan kerja, meskipun mereka punya kapasitas?
Overthinking dan Perfeksionisme dalam Konteks Wawancara Kerja
Overthinking adalah kondisi mental ketika seseorang terlalu banyak menganalisis atau memikirkan hal-hal yang belum tentu terjadi. Dalam konteks interview kerja, overthinking bisa muncul dalam bentuk kekhawatiran berlebihan terhadap kemungkinan pertanyaan sulit, penilaian interviewer, atau interpretasi dari setiap gerak-gerik dan kata yang diucapkan.
Gen Z yang overthinking akan cenderung tidak fokus pada percakapan, melainkan terjebak dalam pikirannya sendiri yang sibuk merancang skenario: “Apa yang akan terjadi jika…”.
Sementara itu, perfeksionisme adalah dorongan untuk selalu tampil ideal, sesuai standar tertinggi yang ditetapkan oleh diri sendiri. Ini bukan semata soal kualitas kerja, tapi juga menyangkut cara seseorang ingin dilihat.
Dalam ruang interview, perfeksionisme memunculkan keinginan untuk menjawab semua pertanyaan dengan kalimat yang cerdas, runtut, dan mengesankan. Sayangnya, perfeksionisme ini justru membuat seseorang terlihat kaku, text book thinking, dan kehilangan spontanitas ketika diterapkan dalam percakapan wawancara.
Ketika dua hal ini bertemu, Gen Z sering kali mengalami mental freeze. Mereka ingin memberikan jawaban terbaik, tapi terlalu banyak berpikir hingga tidak bisa berbicara dengan lancar. Mereka ingin jujur tentang pengalaman dan kemampuan, tapi takut kalau apa yang mereka katakan tidak cukup impresif. Hasilnya adalah jawaban-jawaban yang terdengar aman, penuh jargon, tapi jauh dari gambaran personalitas mereka yang ril.
Ironisnya, pewawancara lebih menghargai jawaban yang jujur, meski tidak sempurna, daripada jawaban yang terdengar hafalan. Dunia kerja bukan ruang akademis yang mengharuskan jawaban tepat 100 persen.
Namun, karena terbiasa dengan sistem nilai menghargai prinsip “benar atau salah” sejak sekolah, banyak Gen Z tanpa sadar membawa pola pikir itu ke proses seleksi kerja.
Dengan memahami definisi dan cara kerja overthinking dan perfeksionisme ini, kita bisa melihat bahwa masalah utama bukan pada kurangnya kompetensi.
Justru sebaliknya, banyak Gen Z memiliki kemampuan, tapi tidak bisa mengakses atau menampilkannya karena terjebak dalam tekanan internal yang mereka ciptakan sendiri.
Rentan Overthinking & Perfeksionis?
Salah satu alasan utama adalah budaya performatif yang sangat kuat di kalangan Gen Z. Sejak remaja, mereka hidup dalam lingkungan digital yang mendorong penampilan, pencitraan, dan validasi publik.
Sedangkan di media sosial, mereka terbiasa mengedit caption, memilih angle terbaik, dan memoles narasi hidup agar terlihat ideal. Ketika kebiasaan ini dibawa ke dunia profesional, proses interview pun menjadi arena ‘panggung’ lain yang harus ditaklukkan dengan penampilan tanpa cela.
Kedua, Gen Z dibesarkan dalam ekosistem meritokrasi yang menekankan bahwa pencapaian adalah ukuran utama nilai seseorang. Mereka didorong untuk punya nilai tinggi, memenangkan lomba, ikut organisasi, dan membuktikan diri lewat deretan prestasi. Akibatnya, mereka takut jika satu jawaban yang salah atau terlihat ‘biasa saja’ akan menghapus semua pencapaian tersebut. Inilah yang membuat tekanan interview terasa sangat besar.
Ketiga, akses informasi yang berlimpah—baik dari YouTube, TikTok, maupun kursus online—membuat Gen Z membanjiri diri mereka dengan tips, template, dan strategi menjawab pertanyaan interview. Di satu sisi, ini baik. Tapi di sisi lain, terlalu banyak referensi membuat mereka bingung dan kehilangan suara asli mereka sendiri. Mereka terlalu sibuk memikirkan formula yang tepat, bukan makna dari pertanyaannya.
Keempat, banyak Gen Z yang belum cukup mendapatkan ruang untuk gagal. Dari sekolah hingga dunia kuliah, kegagalan kerap ditanggapi dengan hukuman, bukan pembelajaran. Maka ketika menghadapi interview yang bisa berujung pada penolakan, mereka melihatnya sebagai bentuk ‘gagal total’ yang memalukan. Padahal, interview pertama bukan soal berhasil langsung, melainkan proses eksplorasi dan belajar tentang cara berkomunikasi di dunia kerja.
Faktor kelima adalah tekanan ekonomi dan sosial yang mereka hadapi. Banyak dari Gen Z yang menjadi tulang punggung keluarga, atau setidaknya merasa mereka harus cepat “mapan”. Akibatnya, mereka menaruh harapan besar pada satu sesi interview, membuatnya menjadi momen hidup-mati. Di bawah tekanan sebesar ini, overthinking dan perfeksionisme pun berkembang biak dengan cepat, menghancurkan peluang tampil maksimal.
Bagaimana Overthinking & Perfeksionisme Muncul?
Dalam praktiknya, overthinking dan perfeksionisme memiliki pola-pola khas saat interview berlangsung. Salah satu momen paling umum adalah ketika ditanya, “Ceritakan tentang diri Anda.” Pertanyaan ini tampak sederhana, tapi justru membuat banyak Gen Z diam cukup lama. Mereka takut terdengar terlalu biasa, terlalu narsis, atau malah terlalu random. Padahal, pewawancara hanya ingin mendengar narasi jujur yang menggambarkan kepribadian dan motivasi mereka.
Hal yang sama terjadi saat ditanya soal kelemahan. Banyak kandidat Gen Z memberikan jawaban yang sangat terjaga, seperti “Saya terlalu perfeksionis,” atau “Saya terlalu fokus dengan detail.” Ini bukan karena mereka tidak punya kelemahan nyata, tapi karena takut dianggap tidak kompeten. Mereka lupa bahwa pewawancara menghargai self-awareness dan kemampuan mengelola kekurangan—bukan menyembunyikannya.
Pertanyaan seputar pengalaman kerja atau proyek pun sering dijawab dengan deskripsi teknis tanpa emosi atau konteks. Ini terjadi karena mereka berusaha menyusun jawaban yang terdengar pintar dan ‘siap jual’, alih-alih menyampaikan proses, tantangan, atau hal yang mereka pelajari. Akibatnya, jawaban terasa seperti presentasi PowerPoint, bukan percakapan hangat.
Overthinking juga menyebabkan jeda berpikir yang terlalu panjang, kalimat yang dipotong setengah jalan karena ingin ‘merevisi’ di kepala, atau bahkan lupa menjawab poin utama dari pertanyaan karena terlalu banyak memikirkan struktur jawabannya. Perfeksionisme, di sisi lain, menciptakan rasa cemas kalau mereka tidak menggunakan kata-kata “yang tepat”, padahal pewawancara lebih tertarik pada isi pesan ketimbang diksi.
Semua ini menumpuk menjadi kesan kaku, tidak percaya diri, dan tidak autentik. Padahal, banyak dari Gen Z ini punya cerita menarik, kemampuan adaptasi tinggi, dan perspektif segar. Sayangnya, semua itu tertahan oleh beban ingin tampil terlalu sempurna—sehingga potensi mereka tertutup oleh strategi yang terlalu berhati-hati.
Interview Bukan Ujian, Tapi Percakapan
Langkah pertama untuk mengatasi overthinking dan perfeksionisme adalah mengubah cara pandang terhadap interview. Interview bukan ujian akhir, melainkan percakapan timbal balik antara dua pihak yang sedang mencari kecocokan. Pewawancara ingin tahu apakah kamu cocok dengan tim dan budaya kerja mereka. Kamu juga berhak menilai apakah tempat itu cocok untukmu. Ketika mindset ini tertanam, tekanan untuk tampil sempurna mulai mencair.
Langkah kedua adalah memperbanyak latihan storytelling. Bukan dengan menghafal skrip, tapi dengan menceritakan ulang pengalaman nyata dengan urutan sederhana: latar belakang, tantangan, aksi, dan hasil. Latihan ini bisa dilakukan bersama teman, komunitas, atau bahkan direkam sendiri. Cerita yang jujur dan mengalir jauh lebih kuat daripada jawaban yang terstruktur kaku.
Ketiga, penting untuk membangun self-compassion. Kesalahan kecil bukanlah kegagalan besar. Salah sebut nama tools, lupa detail angka, atau terdengar grogi bukan berarti kamu langsung gagal. Pewawancara juga manusia—mereka bisa membedakan antara kurang pengalaman dan kurang potensi. Memberi ruang pada diri sendiri untuk tampil "cukup" alih-alih "sempurna" adalah langkah keberanian yang nyata.
Keempat, sadari bahwa perfeksionisme sebenarnya adalah tanda bahwa kamu peduli. Tapi perhatian yang berlebihan bisa berubah jadi beban jika tidak dikelola. Gunakan standar tinggi sebagai motivasi, bukan tekanan. Izinkan dirimu untuk menunjukkan sisi manusiawi: berpikir sejenak, jujur kalau tidak tahu, atau bahkan tertawa saat grogi—karena itu semua bagian dari proses yang sehat.
Kelima, ikut komunitas, forum, atau mentor yang bisa memberi simulasi interview dan feedback. Banyak Gen Z merasa sendirian menghadapi proses ini. Padahal, ketika dilatih dalam suasana aman dan suportif, kepercayaan diri mereka bisa tumbuh pesat. Yang dibutuhkan bukan sekadar informasi, tapi ruang untuk mencoba, salah, dan belajar.
Gen Z bukan tidak bisa interview. Mereka hanya terlalu sering menuntut diri untuk terlihat siap 100 persen, padahal yang diharapkan dari mereka adalah keaslian, kejelasan, dan keterbukaan untuk bertumbuh. Dunia kerja bukan hanya soal hard skill, tapi juga kemampuan membangun koneksi—dan koneksi muncul saat manusia berani tampil apa adanya, bukan saat berusaha keras terlihat tanpa cela.
Penting untuk diingat bahwa tampil manusiawi itu lebih kuat dari sekadar tampil sempurna. Jadi, kalau kamu sedang menanti interview berikutnya, ingatlah: kamu tidak harus tampil sempurna. Kamu hanya perlu hadir sebagai versi paling jujur dari dirimu yang sedang berusaha. Dan kadang, justru di situlah letak kesan paling kuat yang bisa kamu tinggalkan.
Depok, 7 April 2025
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI