Sore itu, setelah hari yang panjang, Gayatri duduk di bawah pohon asam di pinggir sawah. Angin membawa wangi tanah basah dan bunyi serangga.
Raden Wijaya datang menghampiri, membawa kendi air.
Raden Wijaya berkata. "Kau tampak lelah. Hari ini aku lihat kau membantu menumbuk padi bersama istri Ki Ranu."
Gayatri tersenyum kecil. "Tubuhku mungkin lelah, tapi hatiku tidak. Aku baru tahu... betapa besar tenaga yang harus dikeluarkan seorang petani hanya untuk sesuap nasi."
Raden Wijaya duduk di dekatnya, menatap lurus ke cakrawala yang mulai berwarna jingga.
"Kita dilahirkan di istana, dikelilingi kain sutra dan lampu minyak. Kita pikir dunia ini berputar untuk kita."
Ia menghela napas"Tapi ternyata, dunia sejati ada di tangan orang-orang seperti Ki Ranu."
Gayatri menatapnya, mata beningnya memantulkan cahaya senja.
"Dan mungkin karena itu, Singhasari runtuh. Karena kita lupa pada mereka."
Raden Wijaya menoleh, sedikit terkejut.
"Ucapanmu tajam, Gayatri."
"Karena kebenaran memang tajam, Raden," jawabnya lembut. "Dan kadang hanya luka yang membuat seseorang membuka mata."
Keheningan turun di antara mereka.
Angin berdesir pelan, memainkan ujung rambut Gayatri.
Raden Wijaya menatapnya diam-diam. bukan sebagai permaisuri masa depan, tapi sebagai jiwa yang memantulkan kebijaksanaan yang belum pernah ia temukan sebelumnya.
"Gayatri," katanya akhirnya, "kalau takdir memberi kita kesempatan... aku tak ingin membangun kerajaan dari pualam dan batu lagi. Aku ingin membangunnya dari hati."
Gayatri tersenyum samar. "Kerajaan dari hati?"
"Ya," ujar Raden Wijaya, "kerajaan di mana rakyat tak takut kepada rajanya, dan cinta bukan hanya untuk mereka yang berdarah biru."