Di malam pernikahannya, setelah semua tamu pergi dan gamelan berhenti berbunyi, Wijaya berdiri di emperan istana.
Angin malam membawa wangi bunga kenanga.
Di kejauhan, bintang Arundhati berkelip di langit yang pekat.
Ia menutup mata, dan suaranya nyaris tak terdengar:
"Maafkan aku, Gayatri.
Aku menikah demi negeri, tapi jiwaku tetap milikmu."
Kembalinya Sang Rajapatni
Beberapa tahun kemudian, ketika Majapahit telah stabil dan Mongol diusir dari tanah Jawa, seorang perempuan datang dari arah timur.
Ia mengenakan busana biarawati kerajaan, rambutnya disanggul sederhana, namun tatapan matanya tetap teduh. Gayatri Rajapatni.
Berita kedatangannya membuat seluruh istana gempar.
Namun Raden Wijaya hanya diam di singgasananya, menatap perempuan itu ketika ia berjalan masuk ke balairung.
Mereka tidak berpelukan. Tidak juga berbicara lama.
Hanya saling menatap. Dua jiwa yang telah melalui perang, kehilangan, dan takdir.
Raden Wijaya berkta, "Dunia telah berputar, Gayatri. Aku kini raja, tapi tanpa arah bila kau tak di sisiku."
Gayatri tersenyum lembut ."Kau telah menemukan arahmu, Raden. Kau menyalakan kembali cahaya Singhasari. Biarlah aku menjadi cerminmu, dari balik bayangan."
"Tidak ada bayangan tanpa cahaya. Kau adalah cahaya itu," kata Raden Wijaya.
Gayatri menunduk. "Majapahit tak butuh cinta yang dibisikkan di malam hari, tapi cinta yang menjaga negeri di siang hari. Biarkan aku menjadi Rajapatni. bukan sekadar permaisuri, tapi penjaga arwah kerajaan ini."
Wijaya memejamkan mata.
Ia tahu, cinta mereka kini telah berubah bentuk. Dari pelukan menjadi keheningan, dari kerinduan menjadi kekuatan.