Mohon tunggu...
Sukir Santoso
Sukir Santoso Mohon Tunggu... pensiunan guru yang suka menulis

Peduli pada bidang psikologi, sosiologi, pendidikan, seni, dan budaya. Saya merasa tertarik untuk memahami manusia, bagaimana mereka belajar, serta bagaimana pengalaman budaya dan seni dapat memengaruhi mereka. Saya sangat peduli dengan kesejahteraan sosial dan keadilan, dan mencari cara untuk menerapkan pemahaman tentang psikologi, sosiologi, pendidikan, seni, dan budaya untuk membuat perubahan positif dalam dunia ini.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinta di Tengah Abu Singhasari

15 Oktober 2025   12:42 Diperbarui: 15 Oktober 2025   12:42 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Kau tahu banyak untuk seorang prajurit rendahan."

"Karena aku bukan prajurit biasa."
Ia menunduk, lalu berkata pelan, "Namaku Wijaya. Menantu Kertanegara."

Perajurit itu terdiam. Wajahnya berubah pucat.
Namun alih-alih berteriak, ia menunduk dalam-dalam.
"Dewa menuntun langkahku hari ini. Aku tahu, darah Singhasari belum padam."

Dari pertemuan itu, benih perlawanan mulai tumbuh di dalam istana Kediri.
Raden Wijaya perlahan membangun jaringan. Para pengawal lama, pedagang, dan beberapa pejabat yang kecewa pada keserakahan Jayakatwang.

Namun di tengah semua itu, pikirannya selalu kembali pada Gayatri.
Ia ingin melindunginya, tapi setiap hari, Gayatri justru semakin berani menyusupkan pesan-pesan rahasia lewat wadah air dan bunga wangi yang ia kirim ke dapur prajurit.

Di dalam setiap kelopak bunga, ada harapan. Di dalam setiap tatapan, ada janji.

Cinta dalam Bayangan

Suatu malam, di taman belakang istana yang sepi, Gayatri datang diam-diam membawa lentera kecil.
Raden Wijaya sudah menunggunya di bawah pohon sawo kecik, tempat yang mereka sepakati sebelumnya.
Cahaya lentera bergetar lembut di wajah mereka. Wajah dua manusia yang kini hidup di antara tipu daya dan cinta.
"Setiap malam aku takut, Raden. Takut kau tak kembali dari latihan perang, takut namamu disebut oleh penjaga. Tapi anehnya... aku tak menyesal sedikit pun."

Raden Wijaya mendekat, suaranya lembut. "Kenapa tak menyesal, Gayatri? Semua ini berbahaya."


"Karena jika aku harus memilih antara hidup tanpa arti di istana, atau mati bersamamu demi sebuah harapan... aku akan tetap memilih yang kedua."

Raden Wijaya terdiam. Ia ingin menegur, tapi hatinya justru bergetar oleh kejujuran itu.
Ia menyentuh tangan Gayatri perlahan. Sentuhan pertama mereka sejak pelarian di hutan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
  20. 20
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun