Mohon tunggu...
Sukir Santoso
Sukir Santoso Mohon Tunggu... pensiunan guru yang suka menulis

Peduli pada bidang psikologi, sosiologi, pendidikan, seni, dan budaya. Saya merasa tertarik untuk memahami manusia, bagaimana mereka belajar, serta bagaimana pengalaman budaya dan seni dapat memengaruhi mereka. Saya sangat peduli dengan kesejahteraan sosial dan keadilan, dan mencari cara untuk menerapkan pemahaman tentang psikologi, sosiologi, pendidikan, seni, dan budaya untuk membuat perubahan positif dalam dunia ini.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinta di Tengah Abu Singhasari

15 Oktober 2025   12:42 Diperbarui: 15 Oktober 2025   12:42 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Gayatri tersenyum dengan air mata di pipinya.
"Arundhati... bintang kesetiaan dalam pernikahan suci. Apakah itu janji?"

Wijaya menjawab lirih, "Itu sumpah."

Kediri Terbakar

Beberapa minggu kemudian, langit Kediri memerah.
Pasukan Mongol, bersekutu dengan pasukan kecil Wijaya, menyerbu dari utara dan barat.
Benteng demi benteng runtuh, dan istana Jayakatwang menjadi lautan api.

Raden Wijaya memimpin langsung serangan terakhir.
Pedangnya menembus kegelapan, menghapus jejak darah masa lalu.
Di tengah kobaran api, ia tahu, inilah akhir dari Kediri, dan awal dari sesuatu yang baru.

Namun di balik tembok yang runtuh, ia mencari satu wajah. Gayatri.

Ia berlari melewati puing, menembus asap dan debu, berteriak memanggil namanya.
"Gayatri! Di mana kau?"

Suara angin dan gemuruh api menjawabnya.
Hingga di dekat taman belakang istana, di antara reruntuhan pohon sawo kecik, ia melihat kain putih tergeletak di tanah.
Ia berlari, menggenggamnya.
Kain itu masih berbau bunga melati. Itu milik Gayatri.

Hatinya seperti diremuk.
Namun dari jauh terdengar suara lembut, samar, nyaris tertelan kobaran api.

"Raden..."

Ia menoleh cepat. Gayatri berdiri di bawah gerbang batu, wajahnya berdebu namun matanya masih bercahaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
  20. 20
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun