Mohon tunggu...
Sukir Santoso
Sukir Santoso Mohon Tunggu... pensiunan guru yang suka menulis

Peduli pada bidang psikologi, sosiologi, pendidikan, seni, dan budaya. Saya merasa tertarik untuk memahami manusia, bagaimana mereka belajar, serta bagaimana pengalaman budaya dan seni dapat memengaruhi mereka. Saya sangat peduli dengan kesejahteraan sosial dan keadilan, dan mencari cara untuk menerapkan pemahaman tentang psikologi, sosiologi, pendidikan, seni, dan budaya untuk membuat perubahan positif dalam dunia ini.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinta di Tengah Abu Singhasari

15 Oktober 2025   12:42 Diperbarui: 15 Oktober 2025   12:42 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di Bawah Pohon Sawo Kecik

Tahun-tahun berlalu.
Majapahit tumbuh menjadi kerajaan besar.
Namun Raden Wijaya sering menyelinap dari keraton menuju taman belakang, tempat pohon sawo kecik kini tumbuh tinggi dan berbuah.

Di bawah pohon itu, ia duduk bersama Gayatri yang menenun kain sutra lembut.
Keduanya jarang bicara, tapi setiap kata yang tak terucap seolah mengalir lewat udara di antara mereka.

"Dulu kita bertemu di tepi sungai," kata Wijaya suatu sore.
"Airnya jernih seperti matamu waktu itu."

Gayatri tersenyum, menatap daun-daun yang berguguran.
"Dan kini sungai itu mengalir ke Majapahit, membawa kisah kita di dalamnya."

Wijaya menatapnya lama, lalu berkata pelan,
"Bila kelak aku tiada, tolong jaga kerajaan ini. Jaga anak-anakku."

Gayatri menggenggam tangannya.
"Majapahit lahir dari cinta kita, Raden. Ia akan hidup selama cinta itu tak pudar."

Setelah Raden Wijaya wafat

Ketika akhirnya Raden Wijaya wafat, rakyat Majapahit berduka selama tujuh hari tujuh malam.
Namun di antara mereka, hanya satu sosok yang duduk diam di taman belakang, di bawah pohon sawo kecik --- Gayatri Rajapatni.

Ia menatap bintang Arundhati yang bersinar di langit malam, seperti malam ketika mereka berjanji di tepi sungai bertahun-tahun lalu.

"Selamat beristirahat, Raden," bisiknya.
"Cintamu telah menjadi negeri."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
  20. 20
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun