Gayatri menatapnya lama, matanya berkaca-kaca.
"Mungkin, Raden, itu sebabnya dewa masih membiarkanmu hidup. Karena kau belum selesai menulis sejarahmu."
Intrik dan Bayangan
Namun dunia tak pernah memberi kedamaian terlalu lama bagi orang yang ditakdirkan besar.
Kabar tentang seorang bangsawan Singhasari yang masih hidup mulai tersebar di pasar-pasar Kediri.
Nama "Wijaya" mulai disebut dalam bisik-bisik.
Beberapa prajurit Jayakatwang mulai menyisir desa-desa di sekitar Brantas.
Suatu malam, ketika angin bertiup dingin, Ki Ranu datang tergesa ke gubuk mereka.
"Raden... Nimas Gayatri... pasukan Kediri sudah sampai di tepi hutan! Mereka mencari pelarian dari Singhasari."
Raden Wijaya bangkit, tangan meraih  gagang pedangnya yang sudah tumpul.
Gayatri menggenggam tangannya, suaranya bergetar tapi tegas.
"Kita tak bisa terus berlari."
Raden Wijaya menatapnya. Mata perempuan itu begitu dalam, tapi tenang seperti air yang menyimpan badai di bawahnya.
"Apa maksudmu?"
"Aku punya pendapat," kata Gayatri. "Kita tidak akan lari. Kita akan... masuk ke Kediri."
Raden Wijaya terkejut. "Masuk ke kandang musuh?"
"Ya," jawab Gayatri yakin. "Kau akan menyamar sebagai prajurit yang menyerah. Aku... akan berpura-pura menjadi pelayan istana. Jayakatwang mungkin kejam, tapi dia tidak akan curiga pada dua orang yang tampak kalah."
Raden Wijaya menatapnya takjub. "Kau... benar-benar berani, Gayatri."
Gayatri tersenyum tipis. "Aku tidak berani, Raden. Aku hanya tidak ingin melihat kau terus menjadi bayangan di hutan."
Raden Wijaya menatap tajam ke mata Gayatri.
"Kalau memang kau ditentukan dewa untuk bangkit, maka kau harus masuk ke jantung bahaya. Aku akan ikut. Bukan sebagai beban, tapi sebagai saksi."