Langit utara Jawa berwarna kelabu.
Dari cakrawala, kapal-kapal besar bermunculan seperti gunung terapung, layar-layarnya putih membentang menutupi matahari.
Teriakan prajurit terdengar dari pantai Tuban --- "Orang Mongol datang!"
Kabar itu menyebar ke seluruh negeri bagai api membakar alang-alang kering.
Jayakatwang di Kediri panik, para patih saling berdebat, dan di tengah kekacauan itu, Raden Wijaya melihat peluang yang telah lama ia nantikan.
Rencana di Balik Kekacauan
Di dalam kamar sempitnya di barak prajurit, Wijaya membentangkan peta di atas lantai bambu.
Cahaya obor menari di matanya yang tajam.
Di sampingnya, Gayatri duduk diam, matanya tak lepas dari wajah lelaki yang kini bukan hanya kekasih, tapi pemimpin masa depan.
"Ini saatnya, Gayatri. Pasukan Mongol datang untuk membalas penghinaan Kertanegara --- dan Jayakatwang akan jadi korbannya. Aku akan mendekati Mongol, pura-pura tunduk pada mereka."
Gayatri terkejut "Kau akan bergabung dengan mereka? Itu berbahaya! Mereka bukan manusia biasa, Raden. Mereka datang membawa maut."
Raden Wijaya menatapnya lembut. "Aku tahu. Tapi hanya dengan berpura-pura menjadi sekutu mereka, aku bisa menghancurkan Kediri. Setelah itu, barulah pemerintahan yang kita harapkan bisa lahir."
Gayatri menunduk, air matanya jatuh di peta yang terbentang.
"Lalu bagaimana dengan kita?"
Raden Wijaya mendekat, menyentuh pipinya dengan lembut.
"Kita bukan lagi dua pengungsi, Gayatri. Kita dua bagian dari ketentuan Dewa. Jika aku tak Kembali...."
"Jangan katakan itu." Suara Gayatri bergetar, namun tegas.
"Jika kau pergi, aku akan tetap di sini. Aku akan menjaga rahasiamu, menyembunyikan orang-orangmu, memberi kabar lewat cara yang hanya kita tahu."
Raden Wijaya menatapnya dalam-dalam. Ia ingin memeluknya, tapi tahu terlalu banyak mata mengintai di istana Kediri.
Maka ia hanya berkata pelan, "Jika malam ini bintang Arundhati muncul di atas bulan, pandanglah ke langit. Aku pun akan melihatnya dari kejauhan."