Pada suatu malam purnama, Gayatri duduk di taman istana yang tenang.
Bintang Arundhati tampak terang di langit timur.
Ia tersenyum, merasakan kehadiran Raden Wijaya di sisi anginnya.
Tribhuwana datang menghampiri, membawa dupa dan bunga kenanga.
"Ibu," katanya lirih, "Majapahit telah makmur. Hayam Wuruk tumbuh bijak. Semua itu karena bimbinganmu."
Gayatri memandang putrinya lama sekali.
"Bukan karena aku, nak... tapi karena cinta ayahmu masih hidup dalam kalian semua."
Ia menatap bintang itu untuk terakhir kali, lalu menutup mata dengan damai.
Dan ketika angin berembus melewati taman, bunga-bunga kenanga berguguran pelan, seolah ikut berpamitan.
Â
Bertahun-tahun kemudian, di masa kejayaan Majapahit, nama Gayatri Rajapatni disembah bukan hanya sebagai permaisuri, tapi sebagai ibu kebijaksanaan.
Dan setiap kali rakyat menatap bintang Arundhati di langit malam, mereka mengingat kisah dua jiwa yang mencintai dengan cara paling luhur:
Tanpa pamrih, tanpa akhir.
"Cinta sejati tidak mati. Ia berubah menjadi cahaya yang menuntun generasi."
Cinta Abadi di Arundhati
Malam di tanah Majapahit begitu tenang.
Sungai Brantas berkilau memantulkan cahaya bulan purnama, mengalun seperti sutra perak yang membelah bumi.
Di kejauhan, suara gamelan sayup-sayup terdengar dari pendapa --- kidung tentang kejayaan, tentang cinta, tentang kenangan yang tak pudar ditelan waktu.
Di taman belakang istana, pohon sawo kecik kini menjulang besar.
Daunnya rimbun, buahnya harum, dan di bawah naungannya terbaring batu kecil bertuliskan nama dua manusia:
"Raden Wijaya -- Gayatri Rajapatni."
Orang-orang Majapahit percaya, ketika bulan purnama bersinar paling terang, dua sosok akan muncul di bawah pohon itu. Bayangan seorang raja dan seorang permaisuri berbusana putih, berjalan berdampingan tanpa suara.
Mereka berkata, itu bukan roh, tapi cinta yang menolak mati.