Apa untungnya Bertahan di Kompasiana? Waktu, pulsa internet dan kesempatan jalan-jalan jadi terbatas. Reward hanya milik mereka yang rajin dan mempunyai trik bikin artikel yang membuat pembaca terperangah dan penasaran pengin membaca artikelnya. Jadi bagi yang tidak rajin alias malas benar-benar tidak ada manfaatnya. Tapi benarkah pernyataan demikian.
Nostalgia mendapat reward memang menyenangkan meskipun tidak seberapa tetapi rasanya puas karena pembaca mengapresiasi karya kompasianer sehingga mendapat view lumayan. Jika rajin menabung artikel, rajin berkomentar, rajin berbagi info, rajin menshare artikel di komunitas, kesempatan cuan begitu besar. Tapi bagaimana yang menulis hanya kadang-kadang, yang bisa menulis seminggu dua kali bahkan hanya satu kali terus bulan-bulan berikutnya bahkan tidak menulis.
Saya memang selalu kangen menulis, apalagi di Kompasiana. Ada teman-teman yang mempunyai kemampuan luar biasa untuk membuat artikel, mempunyai trik khusus agar bisa masuk terpopuler, Artikel Utama, bahkan artikelnya bisa dibaca sampai puluhan ribu. Tentu saja artikel tersebut punya khans mendapatkan reward karena konsistensi, semangat dan tentunya trik cerdas menarik minat baca para pengguna internet.
Saya bisa dikatakan Kompasianer lama, yang baru punya artikel di kisaran seribu sampai dua ribu, padahal seharusnya kalau rajin 5.000 artikel juga dapat.
Masalahnya adalah karena saya tidak konsisten rajin, kadang muncul kadang menghilang, tetapi selalu ada artikelnya setiap tahun. Kalau saja setiap bulan sekitar 25 artikel muncul itu sudah masuk penulis produktif, saya pernah hampir setiap hari 1 artikel itu dulu, sekarang rasanya stamina jauh berkurang, hanya beberapa artikel yang masuk. Yang konyol adalah saat saya lupa password, sehingga berbulan-bulan tidak menulis. Ini sebetulnya kebodohan saya yang kudet, tidak mau bertanya, membiarkan akun berbulan-bulan tanpa aktivitas.
Padahal sebagai kaum centang biru ( ada privilege khusus) dari kompasiana bahwa kaum centang biru dipercaya karena artikelnya mampu menginspirasi atau paling tidak artikelnya tidak terlalu receh. Saya bersyukur tetapi maaf bila saat ini belum bisa ngebut bikin artikel seperti halnya Omjay, Opa Tjiptadinata Effendi ibu Rosalina, Felix Tani dan sejumlah senior artikel yang masih bertahan di rumah besar bernama Kompasiana. Saya sudah menjadi anggota keluarganya sejak  28 Januari 2010, sekarang tahun 2025 sudah sekitar 15 tahun. Suka duka perjalanan menjadi Kompasianer cukup panjang. Dan saya merasa berat jika meninggalkan Kompasiana tanpa kontribusi artikel sama sekali.
Kemampuan membaca lewat internet itu yang sebetulnya menjadi kendala, usia semakin merasa senja meskipun bila dibandingkan dengan opa Tjiptadinata belum apa-apa, memandang lama layar gawai atau laptop membuat mata pedih (sebetulnya alasan saja wong yang lain bisa rajin dan disiplin saya sendiri bisa disebut angin-anginan). Saya malu karena selalu beralasan sibuk membuat saya tidak rajin menulis seperti teman-teman senior yang  masih aktif yang masih intens menulis, mengikuti komunitas, ikut dalam event-event menulis, rajin mendapat reward (saya sudah bertahun-tahun tidak dapat karena view nya begitu rendah sehingga kesempatan mendapat cuan pun melayang).
Tetapi apakah saya kapok ketika tidak mendapat upah dari menulis selama ini. belasan  tahun lho. Enggak, tujuan menulis saya memang untuk melatih pikiran, mempertajam intuisi, mencoba menganalisa masalah dengan sudut pandang seorang penulis blog.dan intinya saya cinta menulis.
Sudah 15 tahun di rumah ini lalu dapat apa, sudah berapa juta didapat dari aktivitas menulis? Wow tulisannya ribuan pasti kaya raya karena dapat cuan dari menulis. Saya bilang mengutip perkataan Omjay. Sudah mendapat 2 M. Yaitu Makasih Makasih. Kalau saya menulis karena uang tidak mungkin saya bertahan begitu lama menjadi anggotanya. Yang utama saat menulis di kompasiana adalah belajar. Saya belajar banyak dari para menulisnya, belajar menjadi editor dari tulisan saya sendiri, belajar dan mereka yang bisa memanfaatkan kemampuan menulis untuk menjadi penulis buku, pembicara.
Sampai saat ini saya merasa masih harus belajar kepada blogger influencer, penulis profesional yang mampu mengelola hobi menjadi tambang uang. Sayangnya menulis bagi saya baru sebatas hobi, meskipun terbersit pikiran untuk total menulis, tapi saat ini belum ada nyali menggantungkan hidup dari menulis.
Banyak dari teman-teman Kompasianer dulu yang nggak aktif di Kompasiana tetapi sukses menjadi editor, redaktur majalah, pengelola kelompok literasi dan pegiat yang mampu memberi jalan bagi penulis untuk meyakinkan diri bahwa penulis itu adalah sebuah profesi yang menjanjikan.
Saat ini saya di KTP saya  pekerjaan saya adalah guru, hidup dan perjuangan tawa tangis, sebahagia sependeritaan, makan setiap hari-hari dengan gaji sebagai guru yang kadang pertengahan bulan sudah megap-megap gali lobang tutup lobang. Untungnya hidup memang penuh warna, diantara kesulitan masih banyak teman yang peduli, masih banyak rejeki yang tiba-tiba saja mampir. Itu yang patut disyukuri, selama manusia punya usaha maka Tuhan akan selalu membagi rejeki dalam bentuk apapun, Sehingga bisa melewati ujian kehidupan yang setiap orang pasti pernah merasakannya.