Di Mesir kuno, pengetahuan terutama berfungsi praktis, seperti dalam astronomi dan pengukuran tanah (geometri). Pengamatan empiris dilakukan untuk tujuan ritual dan administrasi, tetapi selalu dibingkai dalam kerangka religius. Tidak ada pemisahan antara pengetahuan dan teologi; hukum kosmik dianggap ditentukan para dewa. Meski begitu, praktik kedokteran Mesir yang menggunakan observasi penyakit dapat dianggap sebagai embrio pendekatan empiris.
Babilonia menonjol dalam astronomi dan matematika, mencatat gerakan planet untuk tujuan ramalan dan kalender. Namun, seperti di Mesir, data empiris berfungsi mendukung ritual, bukan sains otonom. Di India kuno, teks-teks seperti Caraka Samhita (kedokteran) menunjukkan pendekatan observasional, tetapi selalu dipadukan dengan doktrin kosmologis. Dalam tradisi filsafat Nyaya (India), logika dan inferensi mulai berkembang, membuka ruang bagi epistemologi berbasis bukti.
Di Cina, filsafat Konfusianisme dan Taoisme lebih menekankan harmoni sosial dan kosmis daripada sains empiris. Namun, praktik teknis seperti pengamatan astronomi, navigasi, dan pengobatan herbal menunjukkan tradisi empiris yang kuat, meski tidak dikodifikasi menjadi filsafat sains. Dengan demikian, semua peradaban besar memiliki benih empirisme, tetapi belum melahirkan positivisme karena pengetahuan masih sepenuhnya terikat kosmologi spiritual.
4.2. Abad Pertengahan: Dunia Islam dan Eropa (Abad ke:6-15)
Pada masa kejayaan peradaban Islam (abad ke:8-13), pendekatan empiris mendapatkan momentum melalui ilmuwan seperti Ibn al-Haytham (Alhazen, 965-1040) dalam optik, Al-Biruni (973-1048) dalam astronomi, dan Ibn Sina (Avicenna, 980-1037) dalam kedokteran. Mereka menekankan eksperimen dan observasi, meskipun tetap mengakui wahyu sebagai sumber pengetahuan. Tradisi ini berbeda dari positivisme modern karena tidak menolak metafisika, tetapi memberikan sains otonomi metodologis.
Di Eropa abad pertengahan, pengetahuan didominasi teologi skolastik. Thomas Aquinas (1225-1274) berupaya memadukan akal dan wahyu, tetapi metode observasi ilmiah belum dominan. Namun, pemikiran Aristoteles yang dibangkitkan melalui penerjemahan karya Arab membuka jalan bagi empirisme.
4.3. Renaisans dan Revolusi Ilmiah (Abad ke:16-17)
Abad ke-16 dan ke-17 menandai pergeseran besar. Francis Bacon (1561-1626) memformulasikan metode induktif: pengetahuan harus dibangun dari pengamatan, bukan spekulasi. Bacon sering disebut sebagai "bapak empirisme modern" dan menjadi inspirasi langsung bagi semangat positivistik.
David Hume (1711-1776) di Skotlandia menekankan bahwa semua ide berasal dari pengalaman inderawi. Hume juga skeptis terhadap kausalitas metafisik, menegaskan bahwa yang dapat kita ketahui hanyalah kebiasaan asosiasi dalam pengalaman. Filsafat Hume menjadi dasar epistemologis bagi Comte dan positivisme logis kemudian.
Sementara itu, Galileo Galilei (1564-1642) dan Isaac Newton (1642-1727) mengubah wajah sains dengan menunjukkan bahwa hukum alam dapat ditemukan melalui pengamatan, eksperimen, dan matematika. Mereka bukan "positivis" dalam arti Comte, tetapi metodologi mereka menjadi fondasi.
4.4. Abad ke:18-19: Awal Mula Positivisme Filosofis