Setiap pagi, sebelum matahari sepenuhnya merekah, saya sudah berada di jalan. Dari Pondok Gede menuju Jakarta Pusat, belasan tahun saya menempuh jalur itu, menembus padatnya jalanan, menunggu angkutan yang tak kunjung penuh, atau terjebak dalam bus yang berjalan seolah kehabisan tenaga. Enam belas tahun lamanya, hidup saya terikat pada ritme seorang penglaju, menyusuri rute yang sama, dengan drama yang hampir selalu serupa.
Jakarta memang terus berubah. Dari masa ketika transportasi masih amburadul, hingga kini lebih tertata dengan sistem yang lebih manusiawi. Namun ada satu hal yang tak banyak berubah: macet. Jalanan tetap saja sesak, kendaraan merayap tak kenal waktu, dan jarak yang sebenarnya tak seberapa bisa memakan berjam-jam perjalanan. Di situlah saya merasa menua di jalanan, usia terasa digerus bukan hanya oleh pekerjaan, tapi juga oleh perjalanan menuju dan pulang dari tempat kerja.
Ada satu momen yang tak pernah saya lupa. Bus berhenti mendadak di tol karena macet yang total. Penumpang yang tadinya cemas terlambat berubah sikap: ada yang memejamkan mata, ada yang pasrah dengan wajah kosong, ada yang tiba-tiba tertidur dengan damai di kursinya. Anehnya, di tengah macet yang biasanya memicu amarah, terselip rasa lega. Tak ada lagi yang bisa diperbuat selain diam, menerima keadaan, dan membiarkan tubuh beristirahat. Macet yang melegakan, begitu saya menyebutnya.
Begitu pula dengan angkot, kendaraan kecil yang kerap jadi penyelamat. Di tengah ketidakberdayaan, angkot seperti oase. Supirnya tahu jalan tikus, tahu kapan harus menyalip, kapan harus melambat. Kadang tetap terjebak juga, tapi paling tidak ada rasa "lebih dekat" dengan tujuan. Di dalamnya, saya sering mendapati orang-orang tertidur sebentar, seolah perjalanan itu sendiri adalah ruang untuk melarikan diri dari penat sehari-hari.
Namun, betapapun pasrah, rasa lelah tetap menumpuk. Berjam-jam terbuang di jalan, tenaga habis sebelum sampai kantor, pulang dengan tubuh separuh nyawa. Di titik-titik itulah stres mudah menyusup. Hidup seolah habis di antara terminal, halte, dan lampu merah.
Tapi saya menemukan sesuatu. Alih-alih membiarkan stres menggerogoti, saya memilih mengamati. Saya mencatat wajah-wajah penumpang, mendengar percakapan singkat, mengingat detail perjalanan. Dari sana lahir cerita. Menulis menjadi jalan keluar saya, bukan untuk menghapus kemacetan, tapi untuk berdamai dengannya. Setiap kata yang tertuang adalah cara untuk tetap produktif, meski usia saya seperti terkikis perlahan di jalanan.
Kini, setelah pindah tugas ke tempat yang relatif dekat rumah, saya seperti mendapat hidup baru. Namun kenangan sebagai komuter selama 16 tahun itu tak pernah hilang. Jalanan telah menjadi guru yang keras tapi juga setia, mengajari saya tentang pasrah, tentang bertahan, dan tentang bagaimana sebuah perjalanan panjang bisa berubah menjadi kisah yang layak dituturkan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI