Mohon tunggu...
R Hady Syahputra Tambunan
R Hady Syahputra Tambunan Mohon Tunggu... Karyawan Swasta

Pemerhati Politik Sosial Budaya. Pendidikan Bidang Hukum. Pengikut Gerakan Akal Sehat. Ex Relawan BaraJP / KAWAL PEMILU Pembelajar Tanpa Henti

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Filsafat Logika (Ep-16) | Positivisme: Fakta Ilmiah-Indrawi Anti Metafisika

28 Juli 2025   20:43 Diperbarui: 4 Agustus 2025   18:59 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

*

Bab 2. Etimologi dan Lahirnya Istilah "Positivisme"

Secara etimologis, kata positivisme berasal dari bahasa Latin positivus, yang diturunkan dari positum (partisipel perfektum dari ponere), yang berarti "meletakkan", "menetapkan", atau "yang diletakkan". Dalam konteks linguistik Prancis abad ke-18 dan ke-19, istilah ini merujuk pada sesuatu yang bersifat pasti, nyata, dan diterima secara sah. Dalam bahasa Prancis, kata positif digunakan untuk menyebut hukum-hukum yang "ditetapkan" oleh otoritas, bukan sekadar norma moral. Istilah ini juga muncul dalam bahasa hukum (droit positif) yang berarti hukum positif-yakni hukum yang berlaku karena ditetapkan, bukan karena kodrat atau moralitas.

Penggunaan istilah positivisme dalam konteks filsafat mulai dikenal pada awal abad ke-19. Henri de Saint-Simon (1760-1825), seorang filsuf sosial Prancis, adalah salah satu yang pertama menggunakan istilah ini sekitar 1825 dalam surat-surat dan esainya, meskipun secara konseptual belum sistematis. Saint-Simon membayangkan sebuah masyarakat yang diatur oleh ilmuwan dan industrialis berdasarkan hukum ilmiah, bukan oleh raja atau teolog. Namun, istilah ini benar-benar mendapat bentuk filosofis yang matang ketika Auguste Comte-murid sekaligus sekretaris Saint-Simon-mengambilnya dan menggunakannya secara resmi dalam Cours de Philosophie Positive.

Sejak Comte, istilah ini menjadi terminologi baku di dunia filsafat. Pada dekade 1840-an hingga 1850-an, istilah positivisme mulai muncul dalam literatur ilmiah berbahasa Inggris, Jerman, dan Italia. Di Inggris, John Stuart Mill (1806--1873) menggunakan istilah ini untuk menggambarkan sains sosial yang bebas dari spekulasi metafisik. Di Jerman, Ernst Mach (1838-1916) mengadaptasi semangat positivisme dalam fisika, yang kemudian memengaruhi lingkaran Wina (Vienna Circle) pada abad ke-20.

Sejarah linguistik ini penting karena menunjukkan bahwa "positivisme" bukan sekadar nama tren intelektual, tetapi istilah yang lahir dari tradisi hukum (positif vs. alamiah) dan ilmu sosial. Penggunaan kata ini secara konsisten sejak pertengahan abad ke-19 menandai lahirnya sebuah aliran filsafat resmi, yang berbeda dari sekadar empirisme murni Inggris (Hume, Locke) karena ia membawa dimensi sosial, hukum, dan metodologis yang lebih luas.

Kapan istilah ini masuk ke dunia filsafat akademik? Berdasarkan catatan Cambridge History of Modern European Thought, positivisme secara resmi diakui sebagai cabang filsafat dalam kurikulum universitas Eropa sekitar 1860-an, ketika universitas di Prancis dan Inggris mulai mengajarkan sosiologi dan filsafat ilmu yang berakar pada Comte (Cambridge University Press, 2020).

Etimologi ini juga menjelaskan mengapa positivisme kerap dianggap lebih dari sekadar metode ilmiah: ia adalah sikap kognitif dan sosial yang percaya pada kepastian hukum dan pengetahuan yang dapat diverifikasi. Dengan kata lain, positivisme menggabungkan etimologi "yang ditetapkan" (dalam hukum) dengan semangat empirisme ("yang dapat diamati") untuk melahirkan paradigma ilmiah yang utuh.

*

Bab 3. Tokoh-Tokoh Logika Positivisme

Positivisme tidak muncul sebagai gagasan tunggal yang statis, melainkan berkembang melalui kontribusi berbagai tokoh, disiplin, dan konteks sosial. Meskipun Auguste Comte (1798-1857) sering dianggap sebagai "bapak positivisme", aliran ini mendapatkan bentuknya melalui sintesis pemikiran ilmiah, hukum, sosiologi, dan filsafat yang diperkuat oleh banyak pemikir di Eropa dan kemudian di seluruh dunia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun