Di Jerman dan Austria, positivisme berkembang dalam sains alam. Ernst Mach (1838-1916) menolak metafisika dalam fisika, menegaskan bahwa konsep ilmiah harus selalu berkaitan dengan pengalaman inderawi. Mach menginspirasi Vienna Circle (Lingkaran Wina)-sebuah kelompok filsuf dan ilmuwan logika seperti Moritz Schlick dan Rudolf Carnap pada 1920-1930'an-yang melahirkan positivisme logis (logical positivism).
Positivisme logis menuntut bahwa pernyataan bermakna hanyalah pernyataan yang dapat diverifikasi secara empiris atau bersifat analitik (logika-matematis). Semua pernyataan metafisika, teologi, atau etika yang tidak dapat diverifikasi dianggap tidak bermakna (meaningless). Pandangan ini berpengaruh besar pada filsafat analitik dan metodologi ilmiah abad ke-20, meskipun kemudian mendapat kritik dari Karl Popper dan filsuf lain.
Meski positivisme logis mulai meredup setelah 1950-an karena kritik Popper tentang falsifikasi (bahwa sains lebih kuat jika teori bisa dibantah, bukan sekadar diverifikasi), prinsip inti positivisme-keutamaan data empiris, observasi, dan logika-tetap menjadi tulang punggung sains modern.
Di bidang hukum, teori Hart dan kemudian Joseph Raz memperkuat legal positivism. Di bidang sosiologi, aliran struktural-fungsional yang dipengaruhi Durkheim mempertahankan pendekatan positivistik. Dalam filsafat sains, tokoh-tokoh seperti Bas van Fraassen mengembangkan constructive empiricism.
3.5. Sumbangan Para Tokoh terhadap Pendidikan dan Ilmu
Kontribusi tokoh-tokoh di atas bukan hanya teoretis. Comte dan Durkheim, misalnya, meletakkan dasar kurikulum ilmu sosial modern. Hart memengaruhi desain kurikulum hukum yang memisahkan analisis legal dari moral. Lingkaran Wina memicu berkembangnya filsafat analitik yang menjadi basis pendidikan filsafat di Eropa dan Amerika.
Secara keseluruhan, perkembangan positivisme menunjukkan bahwa meskipun ia lahir dari Comte, evolusinya ditopang oleh banyak disiplin dan tokoh. Dari sains, hukum, sosiologi, hingga pendidikan, positivisme menjadi fondasi yang mempengaruhi cara kita memahami pengetahuan dan realitas.
*
Bab 4. Perkembangan Positivisme di Setiap Peradaban
Positivisme sering dipandang sebagai produk modernitas, tetapi gagasan mendasarnya-bahwa pengetahuan harus berakar pada pengalaman dan fakta-memiliki jejak panjang dalam sejarah peradaban manusia. Walau istilah positivisme baru muncul pada abad ke-19, kecenderungan untuk menolak penjelasan mistis dan mencari hukum alam dapat dilacak sejak peradaban kuno. Perjalanan ini menunjukkan bahwa meskipun budaya dan agama kuno tidak mengenal istilah ini, semangat empirisnya muncul dalam berbagai bentuk.
4.1. Peradaban Awal: Mesir, Babilonia, India, dan Cina (Sebelum Masehi -Abad ke 5 M)