Meski demikian, pada abad ke-20, fisika kuantum dan relativitas memunculkan tantangan bagi positivisme murni karena banyak fenomena tidak dapat diamati langsung (seperti gelombang probabilistik). Tokoh seperti Niels Bohr menggunakan pendekatan pragmatis yang dekat dengan semangat positivistik: teori ilmiah tidak harus menggambarkan realitas metafisik, cukup menjelaskan prediksi fenomena.
6.3. Positivisme dan Sains Sosial Global
Di bidang sains sosial, positivisme membantu membangun disiplin seperti sosiologi, ekonomi, dan ilmu politik menjadi bidang akademik yang "ilmiah". Durkheim dan para penerusnya mempopulerkan studi statistik bunuh diri, kriminalitas, dan pendidikan, membuktikan bahwa perilaku sosial dapat dianalisis secara objektif.
Namun, di luar Eropa dan Amerika, positivisme sering dipadukan dengan konteks budaya. Di India, metodologi positivistik dalam riset ekonomi dan kebijakan publik digunakan bersamaan dengan teori poskolonial yang kritis terhadap warisan Barat. Di Indonesia, pendekatan positivistik dalam hukum dan pendidikan dipakai di universitas seperti UI dan UGM, tetapi disandingkan dengan kajian normatif berbasis Pancasila dan agama.
6.4. Kontribusi terhadap Peradaban Modern
Pengaruh positivisme terhadap peradaban modern tampak pada dua aspek besar:
- Institusionalisasi Pengetahuan: Universitas dan lembaga riset mengadopsi standar empiris sebagai norma akademik global. Penelitian kuantitatif dan eksperimental menjadi tolok ukur legitimasi ilmiah.
- Teknologi dan Ekonomi: Dengan mendasarkan inovasi pada observasi dan eksperimen, positivisme berkontribusi pada revolusi industri, kemajuan kedokteran, dan teknologi informasi.
Di sisi lain, dominasi pendekatan ini menimbulkan kritik. Pemikir postmodern menilai positivisme terlalu reduksionis, mengabaikan makna subjektif, budaya, dan spiritualitas. Namun, bahkan kritik ini biasanya mengakui bahwa tanpa metodologi empiris, kemajuan teknologi dan sains modern tidak mungkin dicapai.
6.5. Positivisme sebagai Bahasa Global Sains
Hari ini, meski jarang disebut secara eksplisit, prinsip-prinsip positivisme menjadi bahasa universal ilmu pengetahuan. Publikasi akademik di jurnal bereputasi (seperti Nature, Science, atau The Lancet) hampir selalu mengharuskan bukti empiris, data kuantitatif, dan metodologi yang transparan. Prinsip ini berlaku dari Cambridge hingga Tokyo, dari Harvard hingga Al-Azhar.
Positivisme menjadi fondasi diam-diam yang memungkinkan kolaborasi lintas budaya dan negara. Tanpa metodologi empiris yang distandardisasi, kerja sama ilmiah global tidak akan mungkin terwujud.
*