Positivisme sebagai aliran filsafat sering dipersepsikan bertentangan dengan agama karena penolakannya terhadap metafisika dan fokusnya pada observasi empiris. Namun, hubungan antara positivisme dan agama tidak selalu bersifat antagonistik. Sejak abad ke-19 hingga kini, banyak teolog, ulama, dan filsuf dari tradisi Yahudi, Kristen, dan Islam mencoba memahami atau mengintegrasikan prinsip-prinsip empiris tanpa menanggalkan fondasi spiritual mereka.
8.1. Perspektif Yahudi dan Kristen
Dalam tradisi Yahudi, positivisme dipandang ambivalen. Sebagian teolog, seperti Hermann Cohen (1842-1918) dari mazhab Neo-Kantianisme Yahudi, menilai bahwa pendekatan empiris dapat memperkuat pemahaman etis hukum Yahudi, selama tidak menyingkirkan dimensi moral transendental. Di Eropa abad ke-19, banyak sekolah filsafat Yahudi sekuler mengadopsi metodologi empiris dalam kajian sejarah dan hukum Yahudi untuk melawan dogmatisme.
Dalam Kristen, khususnya Gereja Katolik, positivisme awalnya ditolak karena dianggap mengikis otoritas metafisika teologi. Ensiklik Aeterni Patris (1879) dari Paus Leo XIII menegaskan kembalinya filsafat skolastik (Thomas Aquinas) sebagai benteng melawan positivisme ekstrem. Namun, dalam perkembangannya, Gereja Katolik menerima metode ilmiah empiris dalam pendidikan dan sains, asalkan tidak dipakai untuk menyangkal doktrin iman. Gereja Protestan lebih luwes; banyak universitas Protestan di Jerman dan Amerika (misalnya Harvard Divinity School) menggunakan metode positivistik dalam riset sejarah kitab suci (biblical criticism) tanpa menolak iman secara keseluruhan.
8.2. Perspektif Islam
Dalam Islam, relasi dengan positivisme lebih kompleks karena tradisi keilmuan Islam sejak awal sudah menghargai empirisme. Tokoh-tokoh seperti Ibn al-Haytham (965-1040) menegaskan pentingnya eksperimen dalam optik, sementara Al-Biruni (973-1048) menggunakan metode pengamatan astronomi yang sangat mendekati semangat sains modern. Walau tidak menyebut "positivisme", metode mereka selaras dengan prinsip empiris.
Ulama modern seperti Muhammad Abduh (1849-1905) memandang sains dan metode empiris sebagai sarana kebangkitan umat, selama tidak membawa ateisme. Dalam tafsirnya atas QS Al'Alaq 1-5 ("Iqra' bismi rabbika..."), Abduh menekankan pentingnya ilmu berbasis pengamatan dan akal untuk kemajuan peradaban Islam.
Beberapa cendekiawan kontemporer mengintegrasikan prinsip positivisme dalam kerangka Islam. Syed Muhammad Naquib al-Attas (1931-2024) dalam Islam and Secularism (1978) mengingatkan bahwa sains empiris harus diarahkan oleh etika wahyu agar tidak menjadi alat sekularisasi total. Fazlur Rahman (1919-1988) menegaskan perlunya "double movement" dalam tafsir Qur'an: memahami konteks wahyu secara historis-empiris, lalu menerapkan nilai-nilainya pada zaman modern.
8.3. Dalil dan Landasan Normatif
Beberapa ayat dan hadits sering digunakan ulama untuk mendukung penggunaan metode empiris tanpa menafikan iman:
- QS Al-Baqarah 164: "Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, kapal yang berlayar di laut... terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berakal." Ayat ini menegaskan legitimasi pengamatan fenomena alam sebagai sarana memahami kebesaran Allah.
- QS Yunus 101: "Katakanlah: Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi..." sebagai perintah eksplisit untuk observasi empiris.
- Hadits Riwayat Muslim: "Kalian lebih tahu urusan dunia kalian." (HR. Muslim no. 2363) yang dipahami banyak ulama sebagai pembukaan ruang ijtihad empiris dalam urusan teknis kehidupan, termasuk sains.
Ulama seperti Yusuf al-Qaradawi dalam al-'Ilm wa al-Iman (1997) menegaskan bahwa metode ilmiah modern (observasi, eksperimen) tidak bertentangan dengan Islam jika ditempatkan dalam kerangka tauhid.