3.1. Auguste Comte dan Filsafat Positif
Comte lahir di Montpellier, Prancis, dan mendapatkan pendidikan di cole Polytechnique. Sebagai murid Henri de Saint-Simon, ia mula-mula tertarik pada reformasi sosial berbasis sains. Namun, setelah berpisah dari gurunya, Comte menyusun sistem filsafat yang lebih komprehensif. Dalam karya monumentalnya, Cours de Philosophie Positive (ditulis 1830-1842), Comte menegaskan bahwa pengetahuan manusia berkembang melalui tiga tahap:
1. Teologis, di mana fenomena dijelaskan dengan kekuatan supranatural;
2. Metafisik, di mana konsep abstrak (hakikat, esensi) menjadi penjelas;
3. Positif (Ilmiah), di mana pengetahuan didasarkan pada observasi, eksperimen, dan hukum-hukum alam.
Comte juga memperkenalkan istilah "sosiologi", menjadikannya disiplin ilmiah yang mempelajari masyarakat secara empiris. Baginya, ilmu sosial harus mengikuti metodologi ilmu alam agar dapat memberikan kepastian dan prediksi. Comte percaya, jika masyarakat mengikuti prinsip ilmiah, maka akan tercipta keteraturan (order) dan kemajuan (progress). Prinsip inilah yang kemudian memengaruhi kebijakan negara, termasuk semboyan "Ordem e Progresso" pada bendera Brasil.
3.2. John Stuart Mill dan Positivisme Hukum
Sementara Comte menekankan sains sosial, di Inggris positivisme mendapatkan bentuk berbeda melalui pemikiran hukum. John Stuart Mill (1806-1873), yang meski lebih dikenal sebagai utilitarian, mempopulerkan pendekatan empiris dalam studi sosial dan politik. Ia menganggap hukum dan kebijakan publik harus diukur berdasarkan akibat empirisnya, bukan prinsip moral abstrak. Positivisme hukum sendiri sebenarnya berakar pada Jeremy Bentham (1748-1832), yang memisahkan hukum sebagai perintah penguasa dari hukum moral (natural law).
Pemikiran Bentham dan Mill kemudian menjadi dasar legal positivism di abad ke-20, yang disempurnakan oleh H. L. A. Hart (1907-1992) melalui karya klasik The Concept of Law (1961, Oxford University Press). Hart mengembangkan "rule of recognition", prinsip bahwa hukum yang sah bukan karena keadilan moralnya, tetapi karena diterima sebagai otoritas oleh masyarakat. Ini menjadi fondasi teori hukum modern di banyak fakultas hukum dunia, termasuk Oxford dan Harvard.
3.3. mile Durkheim dan Positivisme Sosiologis
Positivisme juga menemukan tempat subur dalam sosiologi melalui mile Durkheim (1858-1917). Dalam The Rules of Sociological Method (1895), Durkheim berargumen bahwa fakta sosial harus dipelajari "sebagai benda" (things), dengan metode empiris yang objektif. Durkheim, meski tidak selalu menyebut dirinya "positivis", menerapkan prinsip Comte secara langsung: menjadikan masyarakat sebagai objek penelitian ilmiah, bukan spekulasi filosofis.
Durkheim membedakan "fakta sosial" (social facts) dari opini atau moralitas individual, mengukuhkan sosiologi sebagai disiplin ilmiah yang berdiri sejajar dengan ilmu alam. Ia berperan penting dalam membuat positivisme tetap relevan di abad ke-20, bahkan setelah kritik dari fenomenologi dan eksistensialisme.
3.4. Ernst Mach dan Lingkaran Wina