Seri-1 Filsafat LogikaÂ
Episode-16 Positivisme: Fakta Ilmiah-Indrawi, Anti Metafisika
Bab 1. Positivisme dan Logika Modern
Sejarah filsafat modern tidak dapat dilepaskan dari pertanyaan fundamental: bagaimana manusia mengetahui sesuatu secara sahih? Sejak zaman klasik, jawaban atas pertanyaan ini terbagi dua kubu besar: kubu rasionalis yang menekankan akal murni, dan kubu empiris yang menekankan pengalaman inderawi. Positivisme, sebagai arus pemikiran yang lahir pada abad ke-19, memadukan semangat empirisme dengan kebutuhan akan sistem metodologis yang ketat. Ia berakar pada keyakinan bahwa pengetahuan yang sahih hanya mungkin diperoleh melalui observasi, eksperimen, dan verifikasi ilmiah.
Menurut Oxford Reference (Oxford University Press), positivisme adalah filsafat yang menegaskan bahwa pengetahuan sejati bersifat ilmiah, dapat diverifikasi secara empiris, dan menolak semua bentuk metafisika atau teologi spekulatif. Dalam pengertian paling umum, positivisme bukan sekadar metode sains, tetapi paradigma epistemologi yang menuntut bahwa seluruh klaim kebenaran harus diuji dalam kerangka pengalaman nyata dan dapat dibuktikan (Oxford Reference, Positivism, 2024).
Positivisme menjadi relevan karena ia hadir pada masa Eropa mengalami revolusi industri, kebangkitan sains, dan sekularisasi masyarakat. Dunia pada awal abad ke-19 membutuhkan fondasi baru yang dapat menjawab: bagaimana sains, hukum, dan masyarakat dapat berkembang tanpa harus selalu bergantung pada doktrin teologis atau metafisika yang tidak bisa dibuktikan? Pertanyaan ini dijawab oleh Auguste Comte (1798-1857), filsuf Prancis yang dianggap sebagai bapak positivisme modern. Dalam Cours de Philosophie Positive (ditulis 1830-1842) dan A General View of Positivism (1848, terjemahan Inggris 1865), Comte menyusun kerangka bahwa peradaban manusia berkembang melalui tiga tahap: teologis, metafisik, dan positif (ilmiah). Pada tahap terakhir, sains menjadi pusat pengetahuan dan basis peradaban modern.
Bagi Comte, positivisme bukan sekadar metode riset, tetapi fondasi moral dan sosial. Ia melihat sains sebagai sarana menciptakan keteraturan (order) dan kemajuan (progress)-dua kata yang kelak diadopsi sebagai semboyan pada bendera Brasil. Positivisme lalu memengaruhi banyak bidang: hukum (melalui positivisme hukum), sosiologi (Comte bahkan menciptakan istilah "sosiologi"), hingga pendidikan (kurikulum berbasis empirisme).
Namun, positivisme tidak pernah steril dari kritik. Para eksistensialis, fenomenolog, dan teolog menuduhnya reduksionis: terlalu menekankan fakta sehingga mengabaikan dimensi makna. Meskipun begitu, positivisme tetap bertahan sebagai arus besar di dunia akademik hingga kini, diajarkan di fakultas-fakultas filsafat, hukum, dan ilmu sosial di universitas besar seperti Oxford, Cambridge, Harvard, Sorbonne, hingga universitas tua Asia seperti al-Azhar di Mesir dan beberapa UIN di Indonesia.
Melalui artikel ini, penulis mengajak kita menelusuri secara mendalam: etimologi istilah, tokoh dan sejarahnya, hubungan dengan budaya-budaya kuno, keberlanjutannya di akademia, kontribusi terhadap sains dan pendidikan modern, serta posisinya dalam perspektif agama-agama besar.