Mengupas Mitos Obat ADHD : Antara Stigma, Fakta, dan Harapan
Obat untuk Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) masih sering dipandang dengan penuh stigma. Kata "stimulan" saja sudah cukup membuat banyak orang takut. Tidak sedikit orangtua yang menolak pengobatan medis bagi anaknya karena khawatir "ketagihan" atau "rusak otaknya."
Padahal, fakta berbicara lain. Selama lebih dari setengah abad, obat stimulan seperti methylphenidate (Ritalin) dan amphetamine (Adderall) telah menjadi andalan dalam terapi ADHD di seluruh dunia. Di Amerika Serikat, bahkan ditulis lebih dari 40 juta resep stimulan setiap tahun. Obat ini terbukti membantu mengurangi gejala utama ADHD: sulit fokus, impulsif, dan hiperaktif.
Sayangnya, di Indonesia pembahasan mengenai ADHD dan pengobatannya masih minim. Ruang kosong ini akhirnya diisi oleh mitos-mitos yang menyesatkan.
Mitos yang Sering Kita Dengar
- "Stimulan itu berbahaya."
Faktanya, istilah stimulan sering disalahpahami. Menurut Dr. Russell Barkley, pakar ADHD dunia, stimulan justru bekerja menyeimbangkan zat kimia otak (dopamin dan norepinefrin). Efeknya bukan "memacu," melainkan menenangkan dan menormalkan fungsi perhatian. - "Ritalin bikin kecanduan."
Penelitian National Institute of Mental Health (NIMH) menegaskan: penggunaan stimulan dengan dosis yang tepat tidak menyebabkan kecanduan. Yang berbahaya adalah penyalahgunaan obat tanpa resep. - "Obat ADHD merusak otak."
Justru sebaliknya. Studi pencitraan otak menemukan bahwa obat stimulan membantu menormalkan aktivitas di area otak yang berhubungan dengan fokus dan kontrol diri. - "ADHD bisa sembuh total dengan obat."
ADHD adalah kondisi neurodevelopmental, bukan penyakit menular. Obat tidak menyembuhkan permanen, tetapi membantu mengendalikan gejala. Seperti disampaikan Dr. Stephen Hinshaw dari UC Berkeley, pendekatan terbaik adalah kombinasi obat, terapi perilaku, dukungan keluarga, dan strategi belajar.
Fakta Lapangan yang Sering Terlupakan
- ADHD dialami oleh 5--7% anak di seluruh dunia, dan sekitar 60% tetap membawa gejalanya hingga dewasa (DSM-5, APA).
- Di Indonesia, data resmi masih terbatas. Namun, Ikatan Psikiater Indonesia (2022) mencatat peningkatan kasus ADHD seiring bertambahnya kesadaran orangtua untuk melakukan pemeriksaan.
- Tanpa penanganan, risiko yang dihadapi anak ADHD cukup berat: mulai dari putus sekolah, depresi, hingga masalah hukum.
Stigma terhadap obat justru membuat banyak anak kehilangan kesempatan untuk mendapat penanganan yang tepat.
Saya menulis ini bukan hanya dari buku atau penelitian. Saya adalah penyandang disleksia dan ADHD yang didiagnosis pada usia 9 tahun.
Saat itu, saya sudah lama dianggap "pemalas," "nakal," bahkan "tidak bisa diatur." Setiap nilai ujian menjadi bukti bahwa saya "berbeda," meski saya sendiri tidak mengerti apa yang salah.
Hari ketika dokter menyarankan obat stimulan, saya masih ingat jelas. Awalnya ada rasa takut: "Apakah saya akan ketagihan? Apakah saya akan semakin dianggap aneh?" Tapi ketika saya mencobanya, rasanya seperti memakai kacamata setelah bertahun-tahun hidup dalam kabur. Untuk pertama kalinya, saya bisa duduk, membuka buku, dan menyelesaikan satu tugas tanpa pikiran melayang ke mana-mana.