Rachel meremas bahunya dengan lembut. "Aku tahu itu sulit. Tapi mungkin sudah waktunya untuk mulai melepaskannya. Demi dirimu sendiri."
Lena menatap Rachel, merasakan gelombang kemarahan dan sikap membela diri. "Gampang bagimu untuk bicara," bentaknya. "Kamu tidak tahu rasanya kehilangan seseorang yang kamu cintai."
Ekspresi Rachel melunak, tapi suaranya tetap tegas. "Aku mungkin tidak tahu persis apa yang kamu alami, Lena, tapi aku tahu bahwa menggenggam kesedihan ini mencekikmu. Dan itu tidak membantumu sembuh."
Lena melotot ke arah Rachel, merasakan konflik bergejolak di dalam dirinya. Sebagian dirinya ingin marah pada Rachel karena tidak mengerti, karena tidak cukup suportif. Tapi sebagian lagi tahu bahwa Rachel mencoba membantunya melihat kebenaran.
"Aku butuh waktu sendiri," kata Lena akhirnya, berdiri dan membersihkan celananya.
Rachel mengangguk penuh pengertian. "Tentu, Lena. Ambil semua waktu yang kamu butuhkan."
Saat Lena berjalan menjauh dari gerbang taman, dia merasakan kegelisahan. Dia tahu bahwa Rachel benar—dia perlu melepaskan kesedihannya dan melanjutkan hidup. Tapi bagaimana caranya?
Hari-hari berubah menjadi minggu, dan Lena terus merawat tamannya, dihantui kenangan Emily. Bunga-bunga daisy, dengan wajah cerahnya, hanya mengingatkannya pada kerinduan yang dia rasakan akan masa depan mereka yang hilang. Bunga lilac, dengan aromanya yang manis, kini menjadi pengingat konstan akan cinta yang telah memudar.
Suatu sore, saat Lena sedang membersihkan rumput liar, dia menemukan sebuah tanaman kecil layu yang tersembunyi di bawah belitan sulur. Itu adalah semak mawar, tapi berjuang untuk bertahan hidup.
"Sama seperti aku," gumamnya pada dirinya sendiri. "Kita berdua berjuang untuk menemukan sinar matahari."
Saat dia memeriksa semak mawar itu, dia melihat label kecil terpasang padanya. Itu adalah hadiah dari Emily, yang diberikan padanya di hari jadi pertama mereka. Air mata mengalir di mata Lena saat dia mengingat hari itu.