Di tengah hujan yang tak pernah berhenti, seorang perempuan duduk sendiri di bangku taman, menyembunyikan luka yang hanya bisa dirasakan oleh hatinya. Hingga seorang pria tua datang, membawa cerita tentang kehilangan dan ketabahan, membuatnya sadar bahwa bahkan di antara bayangan tergelap, ada harapan yang selalu mencari jalan kembali.
Kota itu menangis. Bukan dengan gelegar petir yang membelah langit, melainkan dengan hujan yang turun terus-menerus, tanpa lelah, seakan mencerminkan luka yang menganga di hati Clara. Setiap tetesnya terdengar seperti denting perkusi kecil dalam sebuah orkestra melankolis, memainkan lagu tentang kehilangan dan kenangan yang tak pernah reda. Seolah-olah ada puisi berjudul "Gema dalam Hujan" yang tengah diperdengarkan di udara, dan setiap baitnya menjadi langkah dalam perjalanan sunyi Clara.
Ia duduk di sebuah bangku taman, kayu tua yang licin dan dingin oleh basah. Bangku itu kosong---kosong sebagaimana dirinya kini. Namun di masa lalu, bangku yang sama pernah penuh dengan kehidupan. Di situlah Leo, dengan kegugupan yang manis, pertama kali menyatakan cintanya, pada suatu sore musim panas yang dipenuhi aroma mawar dan janji keabadian. Saat itu, segalanya tampak mungkin. Kini hanya mawar-mawar yang tersisa, kelopaknya berat menampung tetes hujan, seolah menjadi cermin bagi air mata yang menggantung di bulu mata Clara. Ia menggigil, lalu merapatkan jaket ke tubuhnya, berusaha menahan dingin yang merambati tulang dan kesepian yang lebih menusuk daripada udara itu sendiri.
Sepasang muda-mudi melintas, berdesakan di bawah satu payung. Tawa mereka pecah, ringan dan hangat, sejenak meretakkan suasana murung yang menyelimuti taman. Clara menatap mereka, dadanya teriris oleh kerinduan yang mendesak dari relung terdalam.
"Beruntung mereka," bisiknya pelan, nyaris tertelan suara hujan.
"Mereka masih punya satu sama lain."
Jantung kota yang biasanya berdenyut penuh kehidupan kini terasa sepi, tenggelam di balik tirai air yang tak kunjung reda. Clara, siluet pucat di atas trotoar basah, merasa sama tertutupnya. Ia adalah bayangan dalam hidupnya sendiri, dihantui kenangan tentang Leo, warna cerah yang perlahan pudar menjadi abu-abu.
Setahun sudah berlalu---setahun sejak kecelakaan itu merenggut Leo dari sisinya. Setahun sejak kekasih yang mengisi dunianya meninggalkan lubang besar yang tak mungkin ditambal. Sejak saat itu, hidup yang dijalaninya selalu terasa keliru, hidup yang berjalan di bawah bayang-bayang ketidakhadiran.
Hujan terus turun seperti air mata dari langit. Baris pertama puisi itu berputar di kepalanya. Clara teringat tawa Leo yang menular, cara matanya menyipit saat tersenyum, dan hangat genggamannya yang dulu membuat dunia terasa aman. Kenangan-kenangan itu, yang dahulu menjadi pelipur lara, kini terasa seperti pecahan kaca: indah sekaligus menyakitkan, melukai hatinya setiap kali disentuh.
Tetes-tetes air di jendela rumahnya dulu, selalu ia bayangkan sebagai kode rahasia---pesan darurat yang tak pernah mampu ia pecahkan. Setiap tetes adalah seruan kerinduan dan keputusasaan. Ia pernah duduk berjam-jam di tepi jendela, menatap hujan menelusuri kaca, berharap bisa mengerti bahasa yang dibawa air itu. Ia menutup mata, membiarkan pikirannya kembali pada apartemen lama mereka.
"Ingat tidak, Leo, saat itu?" bisiknya pelan, suaranya bergetar.
"Waktu listrik padam, lalu kita menyalakan lilin dan bercerita?"
Senyum tipis melintas di bibirnya---sebuah cahaya kecil di tengah hujan. Namun senyum itu cepat memudar. Kenangan itu tak lagi murni manis, melainkan pahit-manis, pengingat akan sesuatu yang sudah hilang. Ia teringat lagi pada tawa mereka, bisikan di malam hari, janji-janji selamanya, cinta yang dahulu menyala terang.
Mereka membangun dunia bersama---dunia penuh mimpi, penuh kebahagiaan kecil. Mereka bercita-cita menjelajah dunia, membangun keluarga, menua bersama dengan tangan saling menggenggam. Kini, janji-janji itu hanya bergema di ruang kosong dalam hati Clara, seperti suara yang menertawakan keindahan yang tak bisa ia raih lagi. Cinta yang dulu menjadi sandaran, kini terasa bagai ilusi kejam, seperti anggota tubuh yang hilang tetapi masih terus meninggalkan rasa sakit.