Clara menarik jaketnya lebih rapat, kain basah itu melekat di kulit seperti selubung dingin yang mencekik. Lampu-lampu kota di kejauhan tampak kabur melalui tirai hujan, seakan cahaya pun telah kehilangan bentuknya. Ia merasa tenggelam dalam lautan duka, seorang perempuan yang berdiri sendirian, tubuhnya menua bersama luka yang tak pernah sembuh. Kesedihan telah mengukir garis-garis halus di wajahnya, menjadikannya bayangan dari dirinya yang dulu---kerangka kosong yang terus dihantui arwah cinta yang pergi.
Taman yang biasanya menjadi tempat pelarian, kini terasa seperti penjara. Setiap pohon, setiap jalan setapak, setiap bangku adalah pengingat akan Leo. Ia hadir di mana-mana dan sekaligus tak ada---hidup dalam kenangan, namun hilang dari genggaman nyata.
Angin tiba-tiba bertiup, menggoyangkan ranting pohon di dekatnya dan menyebarkan butiran hujan seperti permata kecil. Clara menghela napas, uap hangatnya menghilang di udara dingin.
"Aku rindu kamu, Leo," ucapnya parau, suara pecah.
"Tuhan, aku sangat merindukanmu."
Hujan tetap jatuh, namun kali ini Clara memejamkan mata, membiarkan suara itu membalut dirinya. Simfoni duka itu menjadi pengingat konstan akan kehilangan. Tetapi di sela-selanya, ia merasakan bisikan samar---sebuah kelembutan yang nyaris tak terlihat: harapan. Cinta yang dahulu membuatnya utuh memang telah tiada, tetapi mungkin, hanya mungkin, ia bisa belajar hidup dengan lubang yang ditinggalkannya.
Mungkin suatu hari nanti, hujan tak lagi terdengar seperti tangisan, dan bangku kosong itu tak lagi terasa kosong.
Tiba-tiba sebuah suara berat memecah lamunannya.
"Cuaca buruk, ya?"
Clara membuka mata dan mendapati seorang pria tua berdiri di depannya, bertumpu pada tongkat. Tatapannya penuh kebaikan yang tak asing bagi hati yang terluka.
"Iya," jawab Clara pelan. "Memang."
"Boleh saya duduk?" tanya pria itu, suaranya serak namun lembut.
Clara ragu sejenak, lalu mengangguk.
"Silakan."
Pria itu perlahan duduk, sendi-sendinya berderak seolah ikut memprotes.
"Namaku Arthur," ujarnya, mengulurkan tangan.
"Clara," jawabnya sambil menyambut genggaman itu. Cukup kuat, cukup hangat.
"Sedang memikirkan sesuatu, ya?" tanya Arthur, sorot matanya teduh.
Clara menunduk, agak malu.
"Begitulah."
"Hujan memang selalu membawa kenangan," ujar Arthur sambil menatap jalanan basah.
"Sebagian indah, sebagian lain... menyakitkan."
"Lebih banyak yang menyakitkan bagiku," akunya pelan.
Arthur mengangguk, wajahnya menunjukkan pengertian.
"Aku kehilangan istriku, Margaret, dua puluh tahun lalu. Kadang rasanya seperti baru kemarin."