Mohon tunggu...
parman rudiansah
parman rudiansah Mohon Tunggu... Secret

Berbahasa bukan hanya tentang keterbukaan tetapi tantang bagaimana kamu bersembunyi (parmanrudiansah)

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Pati

14 Agustus 2025   14:33 Diperbarui: 15 Agustus 2025   03:43 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Tanah ini subur tapi tanaman tak tumbuh

Tanah ini kaya tapi sengsara

Tanah ini bukan undangan apalagi hadiah

Tanah ini warisan

Tanah ini diwariskan nenek moyang kami

Disini nenek moyang kami judi nyawa 

Disini tempat bertaruh 

Dan

Sekarang kami menuntaskan apa yang belum selesai

Menyelesaikan keledai-keledai

Memberangus sapi-sapi berdadung

Dahulu kala

Nenek moyang kami memberi pesan

Jaga dan lanjutkan

Jaga negeri ini

Lanjutkan melawan tirani

Kami bukan penghianat 

Kami berdiri menentang siapapun yang mencoba merampok

Nyatanya kami hanya memilih untuk dirampok

Nyatanya dan kenyataannya 

Kalian mewakili kami merampok

Warisan nenek moyang kami

Dan hari ini 

Tikus - tikus membahu 

Merampas dan memperkosa

Bayang-bayang mencengkram 

Berdiri pongah 

Berkata dengan syahdu

Kalau berani majulah

Aku tidak takut

Berjejer betis para petani di alun-alun kota

Berbaris betis para pedagang di sepanjang ruas

Bersenandung para jiwa yang dibakar

Narasi arogansi

Kami menjawab

Kami bukan pemberontak

Ya kami kembali dibunuh

Kami menentang 

Akan kami tuntaskan

Siang itu 

Jeritan menghias kota tentram

Kota Damai itu kini menangis darah

Penuh darah lagi

Di trotoar - trotoar kumuh kini basah

Basah darah kompensasi hari jadi

Hadiah kemerdekaan kecil dari kami

Di kerumunan itu 

Sosok kecil mengacungkan jari

Memekik sanubari

Rasa yang lama ditekan

Mereka hanya enggan lagi di perbudak

Tangis dan ratapan air mata

Mengudara

Anak anak kecil menderita

Tidak mereka pejuang sejati

Lihatlah kaki yang biasanya berlarian di pematang

Jemari yang biasanya bermain gundu di halaman

Kini terbaring di jalanan

Mengusap menutupi mata yang ditusuk

Ditusuk jarum pena penguasa jahanam

Lantunan ayat dipanjatkan

Berharap keajaiban

Terlalu dekat, tak bisa selamat

Mereka menghujani 

Gas tamak berair 

Belaian penguasa terlalu memaksa

Memaksa mencekik

Mati

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun