Mohon tunggu...
Lala
Lala Mohon Tunggu... Penulis

Suka nulis, suka mikir, kadang overthinking tapi produktif. Pernah ikut kursus psikologi dari Yale dan Mini MBA dari IBMI Berlin—karena belajar itu seru, apalagi kalau bisa dibagi. Sempat tercatat di Asian Book of Records, alhamdulillah bukan karena hal viral. Di Kompasiana, saya nulis buat ngobrol—dengan diri sendiri dan siapa pun yang nyempetin baca.

Selanjutnya

Tutup

Horor

Cincin untuk Sheila : Proyek Terakhir

3 April 2025   17:30 Diperbarui: 3 April 2025   21:19 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dibuat Oleh AI

Kotak Cincin untuk Sheila

Sumber : https://id.aliexpress.com/i/1005005877005742.html
Sumber : https://id.aliexpress.com/i/1005005877005742.html

Sheila Rachman, 24 tahun, menikmati hidupnya yang kini jauh lebih tenang. Sebagai seorang kurator seni lepas, ia sibuk berpindah dari satu galeri ke galeri lain, mencari lukisan dan barang antik yang bisa ia kurasi. Hidupnya nyaman, lebih ringan dibanding setahun lalu---saat ia merasa selalu diawasi.

Dulu, setiap malam, ia kerap menemukan bunga mawar di depan pintunya. Akun media sosialnya pernah diretas oleh seseorang yang mengunggah foto-foto dirinya yang diambil diam-diam. Bahkan ada masanya ia merasa seseorang selalu mengikutinya di jalan. Tapi semua itu berhenti secara tiba-tiba. Sheila mengira penguntitnya akhirnya menyerah atau bosan. 

"Panggilan dari Masa Lalu"

Sabtu sore, Sheila berkeliling di Pasar Antik Glodok, kebiasaannya mencari barang vintage. Tangannya secara naluriah berhenti pada sebuah kotak cincin kayu jati tua di antara tumpukan barang rongsokan. Ukirannya rumit, bergaya art deco, dan entah mengapa terasa familiar. Di tengah ukiran itu, ada huruf "S"---mirip dengan tato di pergelangan tangannya.

"Barang langka ini, Neng," bisik si penjual tua dengan suara serak. "Katanya ditemukan di rumah kosong di Menteng... milik dokter muda yang meninggal tragis."

Sheila tak terlalu peduli. Ia membelinya dengan harga murah, membayangkan betapa cantiknya kotak itu jika dipajang di apartemennya di Kemang.

Namun, saat membersihkan kotak itu di rumah, ia menemukan ukiran samar di bagian bawahnya:

"Untuk Sheila tercinta."

Diikuti angka yang membuatnya tercekat. 2024. Tahun ini. Tanpa Pikir panjang Sheila membayarnya dan membawanya ke Apartemennya di Kemang.

_____

Malam itu, ia bermimpi tentang Ryan. Ia berdiri di sudut kamar, menatapnya dengan mata kosong, menggenggam kotak yang sama.

"Aku akhirnya menemukan cara untuk membuatmu menerimaku, Sheila."

Ia terbangun dengan jantung berdegup kencang. Saat melihat meja riasnya, kotak itu kini sudah terbuka---padahal ia ingat jelas menutupnya rapat sebelum tidur.

Di dalamnya, ada cincin berkarat dengan batu kecubung... dan sebuah foto dirinya. Seingatnya tidak ada cincin itu saat ia membeli kotak ini. Dia langsung menutup kotak itu dan kembali tidak tanpa memperdulikan apapun, Mungkin ia hanya lelah, pikirnya dalam hati.

___

Hari Kedua: "Tap. Tap. Tap."

Suara ketukan membangunkannya. Tap. Tap. Tap. Pelan. Teratur.

Sheila menahan napas. Ketukan itu berasal dari pintu kamarnya.

Ia mengintip ke bawah celah pintu. Tidak ada siapa-siapa.

Tapi saat ia berbalik ke tempat tidur, kotak itu kini ada di sana, di atas bantalnya.

Cermin meja riasnya berkabut, dan di tengahnya, terbentuk tulisan samar seperti dicakar:

"SEKARANG GILIRANMU MENUNGGU."

Sheila mengusap usap matanya takut semua itu hanya halusinasinya belaka. Saat ia kembali menatap cermin di meja riasnya tulisan itu menghilang dan kotak itu kembali berada diatas meja. Sheila kemudian memasukan benda kecil itu ke dalam laci dimeja riasnya lalu kembali tidur.

___

Hari Ketiga: "Bau Anyir"

Sheila terbangun dengan perasaan gelisah. Udara di kamar terasa lebih berat dari biasanya, seperti ada sesuatu yang mengintai di dalam kegelapan. Ia bangkit dan mendapati kotak itu kembali duduk manis di meja rias---padahal semalam ia yakin sudah membuangnya ke tempat sampah di luar apartemen.

Tangannya gemetar saat mengangkatnya. Kotak itu terasa lebih dingin dari sebelumnya, seolah menyimpan sesuatu yang tidak kasat mata. Saat membukanya, cincin di dalamnya tampak sedikit berubah. Logamnya terlihat lebih mengilap, dan ada bercak merah samar di tepinya.

Sebuah ketukan di pintu membuyarkan lamunannya. Farrel berdiri di ambang pintu dengan senyum khasnya, tapi ada sesuatu yang aneh pada wajahnya---kulitnya terlihat lebih pucat, dan matanya sedikit cekung.

"Hei," katanya, memeluk Sheila erat.

Sheila tersentak. Ada sesuatu yang salah. Aroma besi yang tajam menusuk hidungnya.

Ia mendorong Farrel sedikit, mencoba menghirup udara dengan lebih jernih.

"Kamu kok bau anyir?" bisiknya, suaranya bergetar tanpa sadar.

Farrel hanya menatapnya dengan mata kosong dan senyum yang terlalu lama bertahan. "Bau apa? Aku nggak nyium apa-apa."

Sheila mundur selangkah. Tapi baunya makin kuat. Bau logam---seperti darah kering.

Matanya melirik ke lantai di belakang Farrel. Ada jejak langkah samar yang tidak ada sebelumnya---jejak kaki merah tua yang perlahan memudar, mengarah langsung ke dalam apartemennya.

Dan itu bukan jejak Farrel.

"Pergi kamu !!!" Bentak Sheila pada Farrel 

"Kamu kenapa ?" Tanya Farrel sambil mencoba meraih tangan Sheila

"Aku minta kamu pergi sebelum aku teriak !!!" Bentak Sheila dengan nada tinggi 

Sosok yang menyerupai Farrel itu pun tersenyum dan kemudian pergi. Di ambang pintu dia berbisik. "Kamu selalu mengusirku" ucap sosok itu sambil menutup pintu.

Sheila terengah-engah, jantungnya berdentum kencang saat sosok yang menyerupai Farrel melangkah keluar dari apartemennya. Suara pintu tertutup terasa seperti lonceng kematian yang bergema di telinganya.

Tangan gemetar, ia segera meraih ponselnya dan mengetik nomor Farrel.

Nada sambung terdengar. Sekali. Dua kali. Tiga kali.

"Sheil?" Suara Farrel terdengar dari seberang. Tenang, normal.

Sheila hampir menjatuhkan ponselnya. "Farrel?" suaranya nyaris berbisik.

"Iya, ini aku. Kenapa?"

Sheila menelan ludah. Matanya masih terpaku pada pintu depan yang baru saja ditutup oleh... entah siapa.

"Ka-kamu di mana?" tanyanya dengan suara serak.

"Aku masih di rumah, baru selesai mandi. Kenapa?"

Sheila merasakan dingin menjalar dari tengkuknya hingga ke ujung kaki.

Jika Farrel masih di rumah... lalu siapa yang tadi ada di sini?

"Sheil?" suara Farrel terdengar khawatir. "Kamu kenapa?"

Sheila menguatkan dirinya, berusaha agar suaranya terdengar normal. "Nggak... nggak apa-apa. Aku cuma... mau tanya, kapan kamu ke sini?"

"Aku baru mau jalan habis ini. Kenapa?"

Sheila menggigit bibirnya. Rasanya seolah-olah udara di dalam apartemen semakin menekan tubuhnya, semakin berat.

"Boleh... jangan ke sini dulu?" katanya pelan.

"Hah? Kenapa?"

Sheila menoleh ke meja rias. Kotak itu masih di sana, terbuka, cincin berkarat di dalamnya berkilauan seolah mengejeknya.

"Nggak apa-apa. Aku cuma... lagi nggak enak badan."

Farrel diam beberapa saat sebelum akhirnya menjawab, "Oke, tapi kalau ada apa-apa, kabarin ya."

Sheila mengangguk, meskipun tahu Farrel tak bisa melihatnya. "Iya."

Begitu panggilan berakhir, Sheila menatap pintu depan dengan tubuh kaku.

____

Hari Keempat: "Bisikan di Cermin"

Jam 3 pagi, Sheila mendengar suara berbisik.

Ia membuka mata dan melihat Farrel berdiri di depan cermin, berbicara sendiri.

"Ryan, aku sudah melakukan bagianku, kamu juga sudah mati sekarang bagianmu"

Sheila membeku. Ryan adalah nama yang sudah lama tidak ia dengar---itu adalah nama penguntit dia.

"Tunggu...dia mati ?" Ucap Sheila dalam hati sambil melihat sosok Farrel.

Farrel berbalik perlahan. Mata hitamnya menatap Sheila kosong.

"Sheila," bisiknya. "Cincinnya cocok di jarimu."

Sheila pun menjerit. 

Dan saat itu pula Sheila terbangun dari tidurnya.

Ia lega ternyata itu hanya mimpi buruknya lagi.

Sungguh terasa amat nyata.

___

Hari Kelima: "Kau Tidak Bisa Pergi"

Sheila menginap di rumah temannya, mencoba menjauh dari apartemennya sendiri. Tapi rasa tidak nyaman tetap mengikuti.

Pagi itu, ia menerima pesan dari nomor tak dikenal.

"Kenapa pergi? Aku sudah menunggumu lama."

Gemetar, ia memeriksa apartemennya melalui CCTV online yang terpasang di ruang tamu.

Di layar, ia melihat sesuatu yang membuat napasnya tercekat.

Kotak itu---yang seharusnya ada di kamarnya---kini ada di sofa. Dan seseorang duduk di sampingnya.

Seorang pria tinggi dengan senyum terlalu lebar.

Ryan.

"Aku harus menelepon polisi" ucap Sheila pada temannya.

"Hah.. Lo kenapa?" Tanya temannya

"Ini Lo liat , si psikopat itu masih incer gue !!" Ujar Sheila sambil memberikan teleponnya pada Ita temannya.

"Tenang Sheila , itu ga ada apa-apa , coba Lo lihat" ujar Iya sambil menenangkan Sheila

"Hah , masa sih ?" Sheila kemudian menatap layar ponselnya kembali dan ternyata tidak ada apapun.

"Lo tau gak ? Tahun lalu ada kecelakaan dekat apartemen Lo dan korbannya si Ryan

"Hah ?" Mata Sheila terbelalak kaget 

"Iya itu si penguntit, lega kan Lo , udah ga ada yang bisa gangguin Lo lagi" 

"Bahkan setelah mati , dia masih ganggu gue" ucap Sheila 

"Ngomong apaan sih Lo ?" Tanya Ita

Sheila tidak bisa menjelaskan pada Ita , dia juga pasti tidak akan percaya.

_____

Hari Keenam: "Foto yang Tak Seharusnya Ada"

Sheila dan Farrel berdiri di ruang tamu apartemen yang suram, suasana semakin mencekam setelah beberapa hari teror. Mereka sepakat untuk membersihkan apartemen ini---untuk selamanya menyingkirkan kotak itu dan segala yang berhubungan dengannya. Farrel dengan cemas mengamati Sheila, yang tampak pucat dan lelah, matanya terjaga tapi kosong.

Sheila membuka laci meja rias dengan tangan gemetar. Ia tahu ia harus membuang semuanya---semua petunjuk yang membawanya pada teror ini. Namun, ketika ia menarik laci sepenuhnya, matanya tertumbuk pada sesuatu yang tidak pernah ia simpan: sebuah album foto kulit tua. Album itu tidak terlihat seperti miliknya---dan yang lebih mencurigakan, ia tidak ingat pernah melihatnya sebelumnya.

"Sheil... kamu baik-baik aja?" tanya Farrel, yang berdiri di belakangnya, namun Sheila tak mendengarnya. Tubuhnya seolah terjebak dalam kebisuan yang gelap.

Dengan hati-hati, ia membuka album itu. Halaman pertama menunjukkan foto-foto dirinya semasa kuliah, diambil dari kejauhan, seolah-olah seseorang mengawasinya dari bayang-bayang. Ia mengenali setiap sudut kampus di foto-foto itu---tapi tidak ada alasan mengapa foto-foto itu ada di album yang aneh ini.

Halaman kedua membuat jantungnya berdegup kencang. Foto dirinya tidur di apartemen ini---tanpa ia sadari ada yang memotret. Ia mengenali kamar tidurnya, kasurnya, dan bahkan posisi tidur yang ia ingat dengan jelas. Tubuhnya membeku, foto itu diambil malam sebelumnya.

Sheila melanjutkan membuka halaman ketiga. Foto dirinya di Pasar Antik Glodok minggu lalu---saat ia membeli kotak cincin itu. Ia bisa melihat dirinya di tengah keramaian pasar, dan di sudut foto, wajahnya yang tampak terfokus pada kotak itu. Siapa yang mengambil foto ini? Dan mengapa mereka ada di sini?

Tangan Sheila terasa dingin. Ia melirik Farrel yang berdiri di belakangnya, wajahnya tampak semakin bingung dan cemas. "Sheil, kenapa kamu..."

Namun Sheila tidak mendengarnya lagi. Di halaman terakhir, foto Ryan muncul, memegang kotak cincin yang sama---kotak yang sekarang menghantui hidupnya. Ryan tersenyum dalam foto itu, dengan mata yang kosong dan penuh kegilaan, memegang kotak itu seolah ia menunggu untuk menyerahkannya padanya. Tertulis di bawah foto dengan tinta merah yang menyala:

"PROYEK SHEILA - TAHAP AKHIR."

Tiba-tiba, album itu terlepas dari tangan Sheila, jatuh ke lantai dengan suara berderit yang nyaring. Farrel, yang berdiri terlalu dekat, terkejut dan mundur beberapa langkah.

Sheila terhuyung, seakan ada yang menariknya menjauh dari album itu. Farrel meraih tangannya. "Sheil... apa yang terjadi? Ini nggak normal, kamu nggak bisa terus begini. Kita harus keluar dari sini."

Namun Sheila hanya bisa menatap album yang telah hilang dari pandangannya, dan suara ketukan dari dalam apartemen kembali terdengar, kali ini lebih keras, lebih mendesak. Seseorang, atau sesuatu, menginginkan dia untuk tetap tinggal.

Farrel berusaha menenangkan Sheila yang mulai panik, tapi di dalam hatinya ia merasa semakin tidak pasti. Ini lebih besar dari yang ia kira.

__

Hari Ketujuh: "Pertunangan Terakhir"

Sheila membuang kotak itu ke kali terdekat. Ia melihatnya tenggelam, berharap ini akhir dari semuanya.

Tapi ketika pulang, Farrel sudah menunggunya di depan pintu, dengan kotak itu di tangannya.

"Kamu lupa sesuatu, Sayang," ucapnya dengan suara yang bukan suaranya. Suara itu... suara Ryan.

Kotak itu terbuka sendiri. Di dalamnya ada cincin pertunangan berdarah... dan seikat rambut Sheila.

Ketakutan terakhir yang ia rasakan adalah tangan dingin yang membekap mulutnya.

Hari Terakhir

Tetangga mendengar teriakan malam itu. Saat polisi datang keesokan paginya, mereka menemukan:

  • Apartemen terkunci dari dalam.

  • Darah di seluruh lantai kamar mandi.

  • Kotak kayu tua di meja, kini berukir dua huruf: "S & R."

  • Dan sebuah catatan di bawahnya:

"Selamat datang di keluarga kami, Sheila."

Epilog

Dua minggu kemudian, seorang gadis muda membeli kotak kayu antik di pasar loak. Ukiran huruf "A" di permukaannya terlihat menarik.

"Nak, hati-hati dengan barang itu," bisik si nenek penjual.

"Ah, Nek. Aku nggak percaya tahayul kok," jawab si gadis sambil tersenyum.

Di sudut pasar, seorang pria tinggi berdiri mengamatinya. Senyumnya terlalu lebar, matanya terlalu gelap.

Di tangannya, ada kotak kayu lain yang sedang menunggu...

THE END

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun