Mari kita ambil puisi "Aku" karya Chairil Anwar. Siapa yang tidak tahu bait terkenal ini:
"Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang 'kan merayu..."
Di permukaan, bait ini seperti tentang kematian. Tapi kalau kita selami lebih jauh, puisi ini mencerminkan semangat seseorang yang siap berkorban demi tanah air, tanpa ingin dipuja atau dikasihani. Chairil menulis di masa penjajahan, dan puisinya mencerminkan realitas saat itu: bahwa hidup adalah perjuangan, dan mati adalah risiko yang siap diterima.
Contoh lain datang dari W.S. Rendra lewat "Sajak Sebatang Lisong". Puisi ini berisi kritik sosial tentang suara rakyat yang dibungkam.
"Mengapa engkau duduk di situ
Membisu
Tak bicara..."
Dalam pendekatan mimetik, puisi ini jadi semacam protes. Ia meniru kenyataan---suatu zaman di mana orang takut bicara, di mana penguasa menekan suara rakyat. Dengan begitu, puisi menjadi semacam dokumentasi sejarah yang dibungkus dalam keindahan bahasa.
Manfaat Pendekatan Mimetik dalam Kehidupan dan Pendidikan
Lalu, mengapa pendekatan mimetik penting? Jawabannya sederhana: karena kita hidup di dunia nyata.
Pertama, pendekatan ini mengajarkan kita untuk lebih peka terhadap lingkungan sosial. Ketika siswa diajak membaca puisi yang berkaitan dengan realitas, mereka akan mulai melihat hubungan antara sastra dan kehidupan mereka sendiri.
Kedua, pendekatan mimetik bisa menumbuhkan empati. Membaca puisi yang bercerita tentang penderitaan orang lain membuat kita lebih bisa memahami rasa sakit, perjuangan, dan harapan manusia lain.
Ketiga, di ruang kelas, pendekatan ini membuat pembelajaran sastra lebih relevan dan bermakna. Guru bisa mengajak siswa berdiskusi tentang puisi yang menggambarkan masalah sosial---seperti kemiskinan, konflik, atau ketidakadilan. Ini bisa menjadi titik awal pembentukan karakter dan kesadaran sosial siswa.