Jika ini untuk para guru, mengapa mereka tidak dibekali dengan keterampilan yang cukup untuk mendidik muridnya? Mengapa mereka lebih mementingkan urusan administrasi ketimbang esensi dari pendidikan itu sendiri? Dan mengapa upah guru honorer ...
Jika ini untuk orang tua, mengapa anak mereka yang merupakan lulusan dari sekolah maupun sarjana tidak begitu membanggakan mereka?
Jika ini untuk kita, bagaimana pembagian peranan ini menjadi jelas? Apa yang harus kita lakukan?
Masalah klasik pendidikan kita
Kurikulum telah berganti berkali-kali. Wajah pendidikan mungkin senantiasa berubah, namun masalah yang dihadapi tetap juga sama. Di atas kertas, kita punya statistik yang mengagumkan. Namun dalam praktiknya, tidak ada yang berbeda.
Mari kita untuk lebih terbuka.
Banyak dari pendidik yang menjadi "manusia berhenti". Maksud saya, tidak sedikit dari mereka yang berhenti belajar karena merasa sudah cukup dengan ilmunya sendiri.
Mereka hanya sekadar tahu tentang ilmu yang diajarkannya di kelas, tetapi tidak benar-benar tahu bagaimana cara efektif untuk menyalurkannya kepada murid.
Mereka tidak sungguh tahu bagaimana cara menghadapi murid yang sedemikian unik dengan potensinya yang beragam.
Beberapa dari pendidik bahkan masih terjebak dengan metode pembelajaran kuno yang menekankan hafalan, dan/atau tugas menyalin teks dari buku rujukan sebanyak berlembar-lembar halaman.
Masalahnya, ini berbenturan dengan tujuan pokok dari pendidikan itu sendiri, yaitu menyiapkan anak untuk menghadapi masa depan. Jikalau mereka terus ditekan dengan metode kuno, mereka pun tak akan punya apa-apa untuk dibanggakan di masa mendatang.
Paradigma yang berkembang dalam beberapa benak pendidik juga egois dengan bunyi, "Guru selalu benar". Dan apa yang kacau? Para peserta didik menerimanya begitu saja. Ini membuat para pendidik berhenti belajar karena merasa punya kekuasaan untuk membungkam.