Secara kuantitatif, kita mengalami perkembangan yang hampir menyeluruh. Namun dalam praktiknya, (hampir) tidak ada perbedaan.
Apa yang saya alami selama bersekolah 12 tahun tidak ada bedanya dengan apa yang orang tua saya alami ketika dulu bersekolah.
Saya diberikan pendekatan, materi, bahkan metode pembelajaran yang hampir serupa dengan apa yang terjadi pada masa orang tua saya bersekolah.
Kita dapat menyalahkan pihak-pihak tertentu dalam hal ini, entah itu kepada pendidik, pihak otoritas, bahkan peserta didik. Namun, tidaklah berguna untuk menuduh karena apa yang kita perjuangkan di sini adalah masalah bersama.
Pendidikan masa kini yang dibungkus dengan seruan "Merdeka Belajar" tampaknya tidak begitu menarik bagi pelaku pendidikan kita.
Kebanyakan peserta didik lebih tertarik pada kebebasan dalam berselancar di internet. Mereka lebih suka menghabiskan waktu untuk menatap media sosial ketimbang membaca buku secara nyaman. Mereka lebih memilih untuk stres karena kalah bermain game online ketimbang stres mengerjakan tugas.
Para pendidik memanglah bergembira dengan tuntutan administrasi yang lebih ringan. Namun, kenyamanan ini tidak berujung pada kemenangan. Mereka harus kewalahan mendidik murid yang terlanjur benci sekolah.
Mereka harus beradaptasi untuk melek teknologi, akan tetapi perlawanan dari kemerosotan adab peserta didik menjadi tantangan yang berat.
Haruskah kita melemparkan tragedi ini kepada orang tua?
Pihak otoritas pun tampak tidak begitu berdaya untuk menjadi tongkat penyeimbang. Barangkali ada terlalu banyak sistem yang mungkin bisa diterapkan. Tapi masalah besarnya hanyalah satu: mereka mengklaim penyakit tanpa mendiagnosis terlebih dahulu.
Sistem yang berlaku memanglah luar biasa membebaskan. Tapi yang sesungguhnya terjadi justru tidak sedemikian mengagumkan.