Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Merdeka Belajar: Pendidikan yang (Belum) Membebaskan

2 Mei 2021   02:30 Diperbarui: 2 Mei 2021   02:50 918
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hari pendidikan nasional di masa pandemi dapat menjadi cermin bagi kita untuk mengevaluasi gerakan Merdeka Belajar | Ilustrasi oleh Moh. Syafii via Kompas.com

Pendidikan merupakan sebuah hak dan bukannya kewajiban, karena belajar adalah sukacita dan bukannya beban.

Jika saya boleh menerka, konsep Merdeka Belajar secara singkat termuat dalam satu kalimat tersebut. Dan memang adanya demikian.

Merdeka Belajar lahir dengan maksud untuk memberikan kesempatan belajar secara bebas dan nyaman kepada peserta didik. Hal tersebut diharapkan dapat membuat mereka belajar dengan senang dan gembira tanpa rasa stres ataupun tekanan.

Merdeka Belajar juga memerhatikan bakat alami yang mereka miliki. Ini berarti tidak ada paksaan untuk mempelajari atau menguasai suatu bidang pengetahuan di luar kemampuan mereka masing-masing.

Upaya ini merupakan perjuangan untuk meningkatkan mutu hasil pendidikan, kesesuaian kurikulum sekolah dengan kebutuhan masyarakat, efektivitas metodologi pembelajaran, termasuk mengembangkan sarana dan prasarana proses belajar.

Di atas kertas, statistik pendidikan kita memang meningkat menjadi lebih baik. Namun, tak banyak dipertanyakan: sampai mana program Merdeka Belajar telah membebaskan kita dari belenggu-belenggu sistem kuno?

Merdeka Belajar di masa pandemi

Konsep Merdeka Belajar bukanlah sesuatu yang baru bagi penganut ideologi humanistik. Bahkan dalam kata-kata Bapak Pendidikan Nasional, "Anak-anak hidup dan tumbuh sesuai kodratnya sendiri. Pendidik hanya dapat merawat dan menuntun tumbuhnya kodrat itu."

Ini jelas mengisyaratkan filosofi yang mendalam tentang betapa pentingnya mendidik anak untuk menjadi manusia yang merdeka, baik secara batin, pikiran, maupun fisiknya.

Tapi, sudahkah mimpi itu terwujud?

Implementasi Merdeka Belajar harus diakui masih meninggalkan banyak kebingungan di masa pandemi. Bagaimana pun juga, konsep ini dicetuskan bukan secara khusus untuk menghadapi situasi sulit seperti sekarang.

Konsep Merdeka Belajar benar-benar diuji: apakah ini efektif atau malah bikin tambah ruwet? Mas Menteri pun mengotak-atik sistem pendidikan.

Dan hasilnya bisa diketahui, kurikulum pembelajaran menjadi lebih ramping karena disederhanakan atau difokuskan pada yang pokok.

Pendidik juga mendapatkan kemudahan dalam menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran. Ini menghasilkan sebuah sistem yang kolaboratif dan holistik mengingat setiap komponen diharapkan dapat mendukung satu sama lain.

Merdeka Belajar di masa pandemi membentuk ekosistem pendidikan yang integratif, karena memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk tumbuh dan berkembang melalui cara yang sesuai dengan kebutuhan zamannya: teknologi.

Bahkan pendidik pun turut dituntut untuk menjadi lebih kreatif dan meninggalkan kebiasaan kuno yang mengandalkan kapur dan buku tebal.

Namun sayangnya, saya hanya mengungkapkan apa yang seharusnya terjadi. Saya tidak menggambarkan apa yang benar-benar sedang terjadi.

Konsep Merdeka Belajar di masa pandemi seakan-akan seperti telur mata sapi yang masih mentah. Kita menyantapnya dengan terpaksa karena butuh waktu lama untuk menemukan atau menyiapkan menu lain.

Kita (hampir) tidak menyiapkan opsi apa pun dalam melangkah ke depan. Dan ini sudah menjadi tradisi.

Jujur saja, kita tidak pernah disiapkan untuk menghadapi situasi yang pelik seperti sekarang. Sebelumnya, kita hanya hidup dengan dimanja oleh perkembangan teknologi. Tetapi ketika kemampuan akan gawai sangat diperlukan dalam pembelajaran, kita tidak mampu.

Sekali lagi, kita memang tidak pernah mempersiapkan diri untuk ini, bahkan selintas membayangkan pun sungguh diragukan.

Kita menjadi kocar-kacir untuk menghadapi berbagai masalah yang kompleks akibat pandemi. Permasalahan dalam dimensi pendidikan harus beradu urgensi dengan permasalahan dalam dimensi perekonomian dan kesehatan.

Dan mirisnya, perbaikan dalam satu dimensi berarti pengorbanan dalam dimensi lain. Dibukanya pasar-pasar dan tempat wisata menjadi biang kerok dari ditutupnya sekolah-sekolah. Daruratnya penanganan di dunia medis berimbas pada melembeknya anggaran pendidikan.

Semua pihak merasakan dampaknya, entah itu peserta didik, pendidik, orang tua, bahkan pihak otoritas. Jika ada pepatah mengatakan, "Susah dan senang harus bersama," ya, kita sedang melakukannya.

Ini tak menunjukkan hal lain kecuali adanya ketidakberdayaan menghadapi kepelikan suatu sistem yang telah sedemikian mapan, tapi sekaligus juga demi menjaga identitas dan gengsi nama besar.

Meskipun berbagai upaya telah dilakukan, mulai dari bantuan paket internet, perluasan media pembelajaran, penyediaan sarana komunikasi guru dan murid; hal yang perlu digarisbawahi adalah, tragedi mengerikan ini bukanlah sesuatu yang dapat diselesaikan dalam waktu singkat.

Selain harus beradaptasi, kita juga berhadapan dengan banyak setan yang mengalihkan perhatian.

Merdeka Belajar VS Merdeka Bermedia Sosial

Ada terlalu banyak kebebasan di dunia ini. Tidak peduli seberapa banyak peraturan yang diberlakukan, setiap individu tetap memiliki pilihan untuk menaatinya atau justru melanggarnya.

Di masa pandemi ini, Merdeka Belajar, secara konseptual, seharusnya dapat menjadi angin segar bagi wajah pendidikan kita. Namun, angin yang berhembus juga dibarengi dengan duri-duri kaktus.

Kemerdekaan dalam belajar bukanlah satu-satunya kemerdekaan yang berlaku. Di tengah berjayanya "Kerajaan Media Sosial", setiap individu juga diberikan kebebasan untuk mengakses media sosial.

Jadi, mana yang berhasil mengalihkan perhatian kita?

Saya akan memulai pertarungan dengan sebuah pertanyaan: mengapa statistik mengagumkan dari pendidikan nasional juga beriringan dengan kemerosotan moral remaja kita?

Kita tahu bahwa akses untuk masuk sekolah semakin terbuka. Gedung-gedung sekolah semakin megah. Bantuan dana pendidikan semakin diperhatikan. Tingkat buta huruf semakin ditekan.

Secara kuantitatif, kita mengalami perkembangan yang hampir menyeluruh. Namun dalam praktiknya, (hampir) tidak ada perbedaan.

Apa yang saya alami selama bersekolah 12 tahun tidak ada bedanya dengan apa yang orang tua saya alami ketika dulu bersekolah.

Saya diberikan pendekatan, materi, bahkan metode pembelajaran yang hampir serupa dengan apa yang terjadi pada masa orang tua saya bersekolah.

Kita dapat menyalahkan pihak-pihak tertentu dalam hal ini, entah itu kepada pendidik, pihak otoritas, bahkan peserta didik. Namun, tidaklah berguna untuk menuduh karena apa yang kita perjuangkan di sini adalah masalah bersama.

Pendidikan masa kini yang dibungkus dengan seruan "Merdeka Belajar" tampaknya tidak begitu menarik bagi pelaku pendidikan kita.

Kebanyakan peserta didik lebih tertarik pada kebebasan dalam berselancar di internet. Mereka lebih suka menghabiskan waktu untuk menatap media sosial ketimbang membaca buku secara nyaman. Mereka lebih memilih untuk stres karena kalah bermain game online ketimbang stres mengerjakan tugas.

Para pendidik memanglah bergembira dengan tuntutan administrasi yang lebih ringan. Namun, kenyamanan ini tidak berujung pada kemenangan. Mereka harus kewalahan mendidik murid yang terlanjur benci sekolah.

Mereka harus beradaptasi untuk melek teknologi, akan tetapi perlawanan dari kemerosotan adab peserta didik menjadi tantangan yang berat.

Haruskah kita melemparkan tragedi ini kepada orang tua?

Pihak otoritas pun tampak tidak begitu berdaya untuk menjadi tongkat penyeimbang. Barangkali ada terlalu banyak sistem yang mungkin bisa diterapkan. Tapi masalah besarnya hanyalah satu: mereka mengklaim penyakit tanpa mendiagnosis terlebih dahulu.

Sistem yang berlaku memanglah luar biasa membebaskan. Tapi yang sesungguhnya terjadi justru tidak sedemikian mengagumkan.

Ada terlalu banyak kebebasan yang berlaku. Ini menjadi daya tarik-menarik tentang mana hal yang lebih nyaman untuk dilakukan.

Dan kita pun tahu mana yang menang.

Ini melahirkan pertanyaan baru yang menggelisahkan:

Di mana peranan sekolah sekarang ini?

Jika sekolah hanya sekadar mengisi waktu luang para muridnya (terutama bagi anak sekolah menengah), apakah tidak lebih baik bagi mereka untuk bekerja saja? Toh dengannya mereka mendapatkan uang, bukan sekadar tumpukan tugas.

Dan jika bekerja juga berarti belajar secara langsung dari realitas kehidupan, bukankah itu berarti mereka tetap "bersekolah" juga?

Tahanlah napas Anda sejenak. Saya punya pendapat yang mungkin buruk, tapi bisa dipertimbangkan.

Untuk siapa pendidikan di Indonesia?

Jika ini murni untuk peserta didik, mengapa setiap kebijakan yang lahir (hampir) tidak pernah melibatkan suara dari peserta didik itu sendiri?

Bagaimana Anda bisa tahu jenis penyakit dari pasien jika Anda tidak mendiagnosis terlebih dahulu pasien tersebut?

Jika ini hanya untuk negara, lantas mengapa peserta didik masih harus membayar? Ini terdengar tidak sopan, tapi ...

Jika ini untuk para guru, mengapa mereka tidak dibekali dengan keterampilan yang cukup untuk mendidik muridnya? Mengapa mereka lebih mementingkan urusan administrasi ketimbang esensi dari pendidikan itu sendiri? Dan mengapa upah guru honorer ...

Jika ini untuk orang tua, mengapa anak mereka yang merupakan lulusan dari sekolah maupun sarjana tidak begitu membanggakan mereka?

Jika ini untuk kita, bagaimana pembagian peranan ini menjadi jelas? Apa yang harus kita lakukan?

Masalah klasik pendidikan kita

Kurikulum telah berganti berkali-kali. Wajah pendidikan mungkin senantiasa berubah, namun masalah yang dihadapi tetap juga sama. Di atas kertas, kita punya statistik yang mengagumkan. Namun dalam praktiknya, tidak ada yang berbeda.

Mari kita untuk lebih terbuka.

Banyak dari pendidik yang menjadi "manusia berhenti". Maksud saya, tidak sedikit dari mereka yang berhenti belajar karena merasa sudah cukup dengan ilmunya sendiri.

Mereka hanya sekadar tahu tentang ilmu yang diajarkannya di kelas, tetapi tidak benar-benar tahu bagaimana cara efektif untuk menyalurkannya kepada murid.

Mereka tidak sungguh tahu bagaimana cara menghadapi murid yang sedemikian unik dengan potensinya yang beragam.

Beberapa dari pendidik bahkan masih terjebak dengan metode pembelajaran kuno yang menekankan hafalan, dan/atau tugas menyalin teks dari buku rujukan sebanyak berlembar-lembar halaman.

Masalahnya, ini berbenturan dengan tujuan pokok dari pendidikan itu sendiri, yaitu menyiapkan anak untuk menghadapi masa depan. Jikalau mereka terus ditekan dengan metode kuno, mereka pun tak akan punya apa-apa untuk dibanggakan di masa mendatang.

Paradigma yang berkembang dalam beberapa benak pendidik juga egois dengan bunyi, "Guru selalu benar". Dan apa yang kacau? Para peserta didik menerimanya begitu saja. Ini membuat para pendidik berhenti belajar karena merasa punya kekuasaan untuk membungkam.

Pihak otoritas juga besar kemungkinan lemah dalam hal mendiagnosis. Sudah umum terjadi bahwa sistem pendidikan yang berlaku hanyalah manifestasi dari teori-teori di buku-buku usang.

Dan bocoran, pada tahun 1969, Carl Rogers dalam bukunya yang berjudul "Freedom to Learn" telah menggemakan upaya kemerdekaan dalam belajar.

Memang, ini bisa jadi tetap relevan untuk diterapkan. Tapi, apakah detail setiap kebijakan merupakan hasil dari diagnosis yang mendalam? Kita masih harus meragukan hal tersebut.

Untuk kicauan terakhir, dapatkah kita menyalahkan para orang tua? Saya tidak tahu, tapi barangkali Anda tahu. Dan saya pun cukup sulit untuk menghakimi para peserta didik.

Mengapa?

Karena mereka dibentuk oleh pihak-pihak yang bertanggung jawab atasnya.

Apa yang dapat kita lakukan?

Saya menemukan satu jurus jitu dalam menghidupkan gerakan "Merdeka Belajar". Upaya ini bahkan bisa terwujud tanpa memedulikan kebijakan apa yang diberlakukan. Jerih payah ini hanya memerlukan kemauan dari setiap pihak.

Sesederhana itu.

Dan tentu saja, maksud saya adalah menghidupkan rasa ingin tahu.

Peserta didik perlu menghidupkan rasa ingin tahu untuk bisa belajar banyak hal, bahkan tanpa menunggu seruan dari otoritas. Dan rasa ingin tahu yang membara dapat mengalahkan rasa candu layaknya singa yang rindu pada makanannya.

Pendidik perlu mempertanyakan apa yang tidak efektif dari cara mengajarnya. Kemudian apa strategi pembelajaran yang cocok untuk muridnya, bagaimana esensi dari Merdeka Belajar bagi muridnya, sejauh mana kepedulian mereka terhadap perkembangan muridnya; semua itu dibangun oleh rasa ingin tahu.

Pihak otoritas perlu mendiagnosis masalah dari pendidikan kita yang tak kunjung selesai, bukan hanya mengadaptasi teori-teori kuno, kemudian bagaimana sistem pendidikan dapat sesuai dengan zaman, dan bagaimana anak bangsa menjadi unggul di masa depan.

Orang tua juga harus mengevaluasi diri tentang caranya mendidik anak. Jangan-jangan mereka terlalu disibukkan oleh pekerjaan? Jangan-jangan uang menjadi prioritas? Jangan-jangan mereka terlalu memanjakan anaknya dengan teknologi?

Rasa ingin tahu memang terkesan sepele, namun jika dilakukan dengan hati yang tulus, seluruh dunia dapat berputar di sekitar kita. Jendela cakrawala terbuka lebar, kita dapat melihat bagaimana alam semesta bekerja bersama kita.

Suka atau tidak suka, kita harus mengakui bahwa Merdeka Belajar belum sepenuhnya menjadi pendidikan yang membebaskan. Kita tidak tahu kapan mimpi indah itu akan terwujud. Dan kita juga tidak tahu sistem baru macam apa yang sedang menanti kita.

Apa yang perlu kita perjuangkan begitu banyak. Namun, langkah pertama kita yang efektif adalah dengan senantiasa membangun rasa ingin tahu.

Kita perlu menghentikan tradisi kita yang cenderung mendukung sikap dogmatis: menerima segala sesuatu tanpa bertanya atau meragukan.

Marilah kita menjadi individu yang skeptis; gemar mempertanyakan segala sesuatu secara kritis. Anda tahu mengapa?

Karena itulah yang membedakan kita dengan hewan.

Dan oh, selamat hari pendidikan nasional, Pembaca.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun