Nanda hanya tersenyum. Ia mulai percaya bahwa penelitian ilmiah tidak selalu harus dilakukan di laboratorium besar. Terkadang, ilmu tumbuh dari tanah tempat kita berpijak.
7. Kunjungan dari Kota
Beberapa bulan kemudian, Prof. Rahim datang langsung ke desa. Ia kagum melihat perubahan.
"Hebat sekali, Nanda. Desa ini seperti laboratorium hidup."
"Kami hanya memanfaatkan apa yang sudah ada, Prof," jawab Nanda merendah.
Mereka bersama-sama mengambil sampel daun katuk dari beberapa kebun. Setelah diuji di laboratorium universitas, hasilnya menunjukkan bahwa varietas lokal katuk Lembang Jaya memiliki kadar klorofil dan protein 20% lebih tinggi dari rata-rata nasional.
"Itu luar biasa!" seru Prof. Rahim. "Kamu bisa daftarkan hak penelitian dan bantu pengembangan herbal nasional."
Berita itu menyebar cepat. Wartawan lokal datang meliput, dan nama "Katuk Lembang Jaya" mulai dikenal. Pemerintah daerah pun menawarkan bantuan untuk pengembangan usaha kecil berbasis herbal.
8. Tantangan dan Keraguan
Namun, tidak semua orang senang.
Beberapa warga menganggap usaha itu hanya tren sesaat.
"Ah, tanaman biasa kok diributkan," kata Pak Udin, tetangga sebelah. "Dulu juga kita makan tiap hari, tak ada yang spesial."
Ada pula pedagang luar yang mencoba membeli daun katuk dalam jumlah besar dengan harga murah.
"Tapi kita tidak akan jual mentah," tegas Nanda kepada warga. "Kita olah sendiri, supaya nilai jualnya lebih tinggi."
Meski begitu, Nanda sempat merasa lelah. Suatu malam ia duduk di teras, menatap langit gelap tanpa bintang.