Keesokan harinya ia menghubungi dosennya melalui panggilan video.
"Menarik, Nanda," kata Prof. Rahim, pembimbingnya di Fakultas Biologi. "Katuk atau Sauropus androgynus memang sudah dikenal secara tradisional, tapi penelitian empiris dari daerah-daerah masih minim. Kalau kamu bisa menemukan data lokal, itu bisa jadi bahan skripsimu."
Nanda tersenyum lega. "Saya akan mulai dari desa sendiri, Prof."
Sejak hari itu, ia menghabiskan waktu di kebun kecilnya, menanam ulang batang katuk dengan pola teratur. Ia membuat catatan tentang tanah, cahaya, dan kadar air. Ibunya hanya menggeleng setiap kali melihat Nanda sibuk dengan alat-alat laboratorium sederhana yang dibawanya dari kampus.
"Anak ini, daun katuk saja dibuat serumit itu," keluh Bu Rini sambil tersenyum bangga.
3. Cerita dari Ibu-ibu Desa
Suatu sore, Nanda menemani ibunya ke balai desa. Di sana, sekelompok ibu-ibu sedang menimbang bayi dan berdiskusi tentang kesehatan.
"Ibu Rini, katanya anakmu meneliti daun katuk ya?" tanya salah satu ibu, Bu Salma.
"Iya, Bu. Katanya daun itu punya zat penting buat kesehatan."
"Wah, cocok itu. Soalnya saya dulu waktu menyusui, tiap makan sayur katuk, ASI lancar sekali," kata Bu Lilis sambil tertawa.
Nanda yang mendengarnya langsung mencatat hal itu.
Ia mulai menyadari bahwa pengalaman empiris para ibu desa mungkin menjadi data awal yang sangat berharga.
Dari situ ia mulai mewawancarai beberapa orang: petani, bidan desa, dan para ibu muda. Banyak di antara mereka mengaku merasa tubuh lebih segar dan cepat pulih setelah makan daun katuk.