"Bolehlah. Ayo." Â Poltak setuju bukan karena rayuan ataupun rengekan Berta. Â Memang sudah maunya Poltak begitu. Â Tapi dia suka juga dirayu dan direngeki Berta.
Keduanya jalan beriring ke kebun nenas di belakang rumah. Poltak berjalan di depan.
"Ini kebun nenas kita." Poltak menunjuk ke sebidang kebun nenas.
Kebun itu berada di lereng bukit. Berbatasan dengan areal persawahan. Dari kebun itu tampak jelas hamparan perswahan di selatan kampung Panatapan.
"Ayo, kita cari dulu sebuah untuk dimakan di sini," ajak Poltak. "Hati-hati daunnya berduri. Ujung daunnya tajam. Kau bisa tertusuk."
"Ayo. Aku mau nenas yang manis, Poltak."Â
"Olo, boru ni rajaku."
Berta menguntit langkah Poltak, menghindari tusukan duri dan ujung daun nenas. Perih kalau sampai tertusuk.
"Poltak, apa tandanya buah nenas manis?"
"Ah, gampang itu. Â Matanya besar macam matamu itu."
"Hah!" Kepalan kanan Berta menghajar bahu kiri Poltak.