Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Poltak #070] Jangan Percaya Kata Guru

14 Agustus 2021   06:51 Diperbarui: 20 Agustus 2021   13:29 429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kolase foto oleh FT (Foto: kompas.com/dok.istimewa)

"Begu ni amam ma, Poltak!"  

"Bah! Begu ni amam, Alogo!"

Udara pagi di Hutabolon masih menusuk tulang sumsum. Tapi hawa di ruang kelas lima SD Hutabolon terasa panas. Poltak dan Alogo bertengkar hebat.

Umpatan begu ni amam, hantu bapakmu, itu tergolong kasar level dua. Itu semacam mendoakan kematian bapakmu. 

Level satu, baba ni amam, mulut bapakmu. Suatu tuduhan bahwa kamu tak diajari bapakmu.

Level tiga, paling kasar,  menyebut alat kelamin bapak atau ibumu. Maknanya, kelahiranmu sebuah kesalahan fatal.

Poltak dan Alogo sudah berhadap-hadapan. Siap menaikkan adumulut jadi  bakupukul. Kelas menjadi riuh oleh ragam jerit dan tempik. Seperti kandang ayam kemasukan musang.

"Diam semua!"

Sebuah hardikan menggelegar dari ambang pintu ruang kelas. Guru Harbangan berdiri dengan wajah keras di sana. 

Kelas langsung kaku beku. Poltak dan Alogo diam tegak layaknya dua patung berhadapan.

"Poltak! Alogo! Ke depan!" perintah Guru Harbangan tegas, lalu melangkah menuju mejanya dan, kemudian, duduk di kursi.

"Kenapa kalian berdua gaduh!"

"Alogo memaki aku, Gurunami."

"Poltak duluan yang kurang ajar, Gurunami. Dia menyebut nama bapakku!"

Bagi orang Batak Toba, pantang bagi anak kecil menyebut nama orangtua. Dianggap tak sopan, kurang ajar. 

Orangtua Batak, sebagai bentuk penghormatan, dipanggil sesuai nama anak sulungnya. Semisal Ama ni Poltak, untuk bapak dan Nai Poltak, untuk ibu.  Kalau belum punya anak, dipanggil Ama ni Paima atau Nai Paima yang sedang paima, menunggu, karunia anak dari Tuhan.

"Aku cuma bilang Alogo seperti Si Tomas, Gurunami."

"Itu, Gurunami. Dia sebut lagi nama bapakku. Kuranga ajar kau Poltak! Calon pastor apa kau itu!"

"Bah! Manalah kutahu kalau nama bapakmu Tomas, Alogo!"

"Diam!" hardik Guru Harbangan. Poltak dan Alogo kaku beku lagi. "Kenapa kau bilang dia seperti Tomas, Poltak," lanjutnya menyidik.

"Alogo tak percaya aku pernah menonton film koboi di bioskop di Siantar, Gurunami. Jadi kubilanglah dia seperti Si Tomas."

"Seperti Si Tomas?  Tomas mana maksudmu, Poltak."

"Santabi, Gurunami. Tak tahulah aku. Tapi ompungku selalu bilang aku seperti Si Tomas. Setiap kali aku tak percaya ucapannya."

"Bah, begitu, ya." Guru Harbangan garuk-garuk kepala. "Tiur! Coba kau pergi ke lapo Ama Rosmeri. Minta tolong Guru Gayus ke sini." 

Pikir Guru Harbangan, soal ini pasti berkait dengan Tomas, atau Thomas, salah seorang dari duabelas murid Yesus. Guru Gayuslah yang paling pas untuk mengurainya.

Tak berapa lama, Guru Gayus, guru agama itu, sudah hadir di ruang kelas lima. Wajahnya menyiratkan rasa heran. Sebab tak tahu apa pangkal soal.

"Anak-anak, Tomas yang dimaksud Poltak itu murid Yesus. Bukan bapak Si Alogo," kata Guru Gayus setelah mendengar penjelasan Guru Harbangan.

"Tomas itu tak percaya perkataan murid-murid lain.  Bahwa Yesus telah bangkit dari kematian dan datang menemui mereka. Kata Tomas, sebelum kulihat dengan mata kepalaku sendiri, dan sebelum kucucukkan jariku ke dalam luka di lambungnya, sekali-kali aku takkan percaya."

Guru Gayus menyapukan pandangan ke seluruh kelas. Murid-murid tampak menyimak dengan serius.

"Nah, berdasar kisah Tomas itu," lanjut Guru Gayus, "kalau ada seseorang yang tak percaya pada kata-kata, orang Kristiani lalu menyebutnya seperti Si Tomas."

"Gurunami," Poltak unjuk jari, "Tomas itu kan murid Yesus. Yesus Gurunya, Tuhannya. Kenapa dia tak percaya pada Tuhannya?"

Guru Gayus nyaris tersedak ludah mendapat pertanyaan begitu.  "Poltak ini terlalu cerdas bertanya," pikirnya.Tapi bukan Guru Gayus kalau tak punya cara untuk menjawabnya.

"Anak-anak, begini. Percaya pada Tuhan itu seumpama seorang anak diajak bapaknya mengail ikan di sungai. Kata bapaknya, 'Di sini banyak ikan', sambil  menunjuk pada satu lubuk keruh." 

Guru Gayus menarik nafas sejenak. Anak-anak ikut tarik nafas juga.

"Nah," lanjutnya,  "ada anak yang langsung percaya perkataan bapaknya. Meski dia tak melihat ada ikan. Ada pula yang baru percaya, setelah melihat ayahnya berhasil mengail ikan dari lubuk itu."  

"Jadi, anak-anak," Guru Gayus  menutup, "ada yang percaya hanya dengan mendengar. Ada pula yang percaya setelah mendengar dan melihat seperti Tomas. Berbahagialah kamu yang percaya walau tak melihat. Mengerti?"

"Mengerti, Gurunami." Anak-anak menyahut serentak, walau mereka tak yakin benar-benar mengerti.  Tapi wajah Guru Gayus terlihat puas.

Guru Gayus pamit dan kembali lagi ke kedai Ama Rosmeri. Dia ingat, kopinya masih tersisa setengah gelas. 

"Tapi anak-anak, kalau dalam ilmu-pengetahuan, kalian harus seperti Tomas," kata Guru Harbangan setelah Guru Gayus beranjak ke luar ruangan. 

Sinar muka murid-murid kelas lima menunjukkan rasa bingung lagi. Tak terkecuali Poltak.

 "Kalian tak boleh percaya begitu saja pada apa apa yang Pak Guru ajarkan," lanjutnya.

"Poltak! Percayakah kau akan Tuhan?"

"Aku percaya, Gurunami."

"Kau pernah melihat Tuhan?"

"Tidak, Gurunami."

"Nah, itu namanya keyakinan, iman. Tak perlu dibuktikan dengan penglihatan mata."

"Alogo!  Di dasar Danau Toba ada seekor ular raksasa penjaga danau. Kau percaya itu?"

"Percaya, Gurunami," jawab Alogo, terdengar sangat yakin. Sebab kakeknya pernah bercerita soal keberadaan ular itu.

"Amangoi amang," keluh sesal Guru Harbangan. "Alogo! Ular itu bernafas dengan insang atau paru-paru?"

"Paru-paru, Gurunami," jawab Alogo mulai bingung.

"Kita sudah belajar ilmu hayat, Alogo. Hewan yang bernafas dengan paru-paru umumnya hidup di darat." Air muka Guru Harbangan tampak masam.

Lanjutnya, "Kecuali ular laut, ikan paus, dugong, anjing laut, dan singa laut. Perhatikan, semuanya di laut. Takada di air tawar."

"Berarti tidak ada ular air tawar, Gurunami?" tanya Poltak minta penegasan.

"Betul. Belum ada bukti keberadaan ular air tawar. Karena itu kita harus bersikap seperti Tomas. Cerita tentang ular Danau Toba jangan dipercaya. Itu cuma legenda."

Murid-murid kelas lima tampak puas dengan penjelasan guru mereka. Mereka satu sama lain saling pandang, senyum, tanda paham.

"Alogo! Karena kau salah jawab, maka Pak Guru menghukummu berdiri di depan kelas satu jam pelajaran."

Pandangan Guru Harbangan beralih ke Poltak. "Kenapa pula anak seperti ini harus lahir ke dunia," katanya dalam hati. 

Tak pernah terpikirkan oleh Guru Harbangan bahwa dia harus minta bantuan Guru Gayus. Hanya untuk menghadapi Poltak, seorang murid yang gemar menanyakan dan menyatakan hal-hal yang aneh.

"Poltak," katanya dengan nada suara rendah tapi tegas, "kau temani Alogo berdiri di depan kelas. Biar dia ketularan pintarmu." (Bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun