"Anak-anak, begini. Percaya pada Tuhan itu seumpama seorang anak diajak bapaknya mengail ikan di sungai. Kata bapaknya, 'Di sini banyak ikan', sambil  menunjuk pada satu lubuk keruh."Â
Guru Gayus menarik nafas sejenak. Anak-anak ikut tarik nafas juga.
"Nah," lanjutnya, Â "ada anak yang langsung percaya perkataan bapaknya. Meski dia tak melihat ada ikan. Ada pula yang baru percaya, setelah melihat ayahnya berhasil mengail ikan dari lubuk itu." Â
"Jadi, anak-anak," Guru Gayus  menutup, "ada yang percaya hanya dengan mendengar. Ada pula yang percaya setelah mendengar dan melihat seperti Tomas. Berbahagialah kamu yang percaya walau tak melihat. Mengerti?"
"Mengerti, Gurunami." Anak-anak menyahut serentak, walau mereka tak yakin benar-benar mengerti. Â Tapi wajah Guru Gayus terlihat puas.
Guru Gayus pamit dan kembali lagi ke kedai Ama Rosmeri. Dia ingat, kopinya masih tersisa setengah gelas.Â
"Tapi anak-anak, kalau dalam ilmu-pengetahuan, kalian harus seperti Tomas," kata Guru Harbangan setelah Guru Gayus beranjak ke luar ruangan.Â
Sinar muka murid-murid kelas lima menunjukkan rasa bingung lagi. Tak terkecuali Poltak.
 "Kalian tak boleh percaya begitu saja pada apa apa yang Pak Guru ajarkan," lanjutnya.
"Poltak! Percayakah kau akan Tuhan?"
"Aku percaya, Gurunami."