Ruang guru sore itu diselimuti cahaya temaram yang masuk dari jendela besar di sisi timur. Tirai berayun pelan tertiup angin, mengangkat aroma kapur basah dan kopi sachet yang menyatu dalam udara. Di meja paling ujung, Yani menatap layar laptopnya dengan tatapan berat. Di depannya, tabel nilai terbuka lebar, seperti lembar takdir yang menunggu diteken.
Hari ini, 18 Juni 2025. Rapat kenaikan kelas. Hari yang bagi sebagian guru, adalah selebrasi. Bagi Yani, ini hari paling senyap sekaligus paling ramai di dalam kepala.
“Yani, kelasmu udah oke semua?” tanya Bu Erna, guru BK, sambil menyeruput teh manis yang masih mengepul.
Yani hanya menjawab dengan senyum kecil. Tapi hatinya tidak tenang. Matanya terus tertuju pada satu nama: Husen.
Kelas 8N memiliki 32 siswa. Laki-laki dan perempuan seimbang. Ada siswa yang luar biasa cemerlang seperti Rafa, dengan nilai akademik melesat dan hafalan Qur’an yang mengesankan. Ada pula siswa-siswa yang meski tak spektakuler, namun menunjukkan semangat belajar yang menghangatkan hati.
Tapi Husen… dia adalah cerita yang berbeda.
Yani menelusuri kembali catatan pembinaan dan laporan guru. Ia membacanya perlahan, jari-jarinya menyusuri permukaan kertas yang sedikit kasar, menyisakan sensasi dingin di ujung kulit.
Husen, anak laki-laki kurus, mata sayu yang sering menerawang ke luar jendela kelas. Langkah kakinya sering tertatih, bukan karena lelah fisik, tapi karena beban pikiran yang tak kasatmata. Sejak kelas 7, Husen sudah menunjukkan ketidaknyamanan di lingkungan asrama. Sering menyendiri, enggan bicara, dan pandangan matanya kosong seperti buku catatan yang belum ditulis.
Suatu hari di pertengahan Juni, Yani memberanikan diri mendekatinya. “Husen, boleh kita ngobrol sebentar?”
Mereka duduk di bangku belakang kelas yang sudah mulai lapuk, bunyi decit kayu terdengar saat mereka duduk. Di sekitar mereka, hanya suara kipas angin tua yang berputar malas dan aroma debu buku perpustakaan yang melekat di hidung.
“Ada apa, Bu?” suara Husen pelan, nyaris tenggelam dalam gumam kelas.
Yani menatapnya, berusaha menembus dinding sunyi yang lama dibangunnya.
“Kamu gak nyaman di sini, ya?”
Husen diam. Lalu mengangguk pelan. “Saya capek, Bu. Rasanya... kayak gak cocok sama tempat ini.”
Kalimat itu menancap di benak Yani seperti duri yang tak bisa dicabut. Hari itu, Husen memberikan secarik kertas. Tulisan tangannya kecil-kecil dan agak bergetar, tapi isinya jujur: curahan hati tentang tekanan, ketidakbahagiaan, dan perasaan seperti orang asing di sekolah ini.
Kertas itu kini terlipat rapi di map merah milik Yani, tercium samar aroma tinta dan kertas tua setiap kali dibuka. Sejak itu, Yani mencoba melakukan banyak hal—berkoordinasi dengan ustadz asrama, guru BK, dan akhirnya menelepon ibu Husen.
“Ibu mohon… jangan keluarkan dia dari sekolah ini. Kami yakin dia masih bisa berubah,” ucap sang ibu, suaranya basah oleh isak.
Yani hanya bisa diam. Di satu sisi, ia ingin menghormati harapan orang tua. Tapi di sisi lain, ia melihat sendiri betapa Husen makin hari makin tenggelam. Tugas tak dikerjakan. Tatapan makin kosong. Bahkan teman-temannya pun mulai khawatir.
Kembali ke ruang guru, Yani menghela napas panjang. Udara dingin dari AC menampar lembut pipinya, tapi dadanya justru terasa sesak. Ia menyisipkan sesendok kopi instan yang sudah dingin dan getir—rasanya seperti kesedihan yang dipaksakan masuk ke mulut.
Ia lalu menulis di bagian rekomendasi laporan kelas 8N:
"Jika ananda Husen tetap melanjutkan di sekolah ini, maka perlu pendampingan intensif dari BK, wali kelas, dan ustadz asrama dengan program pembinaan terstruktur."
Tangannya gemetar saat mengetik. Bukan karena takut dimarahi, tapi karena takut… keputusan ini tak cukup menyelamatkan.
Rapat pun dimulai. Suara mikrofon tua berderit ketika kepala madrasah berbicara. Suara kertas dibalik, bisik-bisik penilaian, dan ketikan laptop mengisi ruang. Tapi saat giliran Yani bicara, suasana berubah hening.
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh... Saya, selaku wali kelas 8N, ingin menyampaikan laporan perkembangan siswa, sekaligus catatan khusus tentang salah satu siswa kami, Husen.”
Semua menoleh.
“Semenjak awal tahun, Husen telah menunjukkan tanda-tanda ketidaknyamanan emosional dan penurunan motivasi belajar. Kami sudah mencoba pendekatan personal dan komunikasi dengan orang tua. Namun hasilnya belum menunjukkan perbaikan berarti. Maka saya mengusulkan evaluasi mendalam, agar masa depannya tidak terabaikan.”
Yani mengatupkan bibirnya setelah bicara. Tenggorokannya kering, seperti ruang kelas kosong yang tak terisi semangat.
Usai rapat, Yani berjalan keluar gedung. Sinar matahari senja menyentuh kulitnya, hangat tapi menyengat, mengingatkannya bahwa menjadi guru bukan hanya tentang mengajar—tapi juga tentang menanggung luka yang tak selalu terlihat.
Dan di antara semua nilai dan angka di rapor hari itu, catatan untuk Husen adalah yang paling berat ia ketik—karena di sanalah letak nilai kehidupan yang sesungguhnya: mengenali batas, menyadari luka, dan tetap mencintai walau tak dibalas sempurna.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI