Yani menatapnya, berusaha menembus dinding sunyi yang lama dibangunnya.
“Kamu gak nyaman di sini, ya?”
Husen diam. Lalu mengangguk pelan. “Saya capek, Bu. Rasanya... kayak gak cocok sama tempat ini.”
Kalimat itu menancap di benak Yani seperti duri yang tak bisa dicabut. Hari itu, Husen memberikan secarik kertas. Tulisan tangannya kecil-kecil dan agak bergetar, tapi isinya jujur: curahan hati tentang tekanan, ketidakbahagiaan, dan perasaan seperti orang asing di sekolah ini.
Kertas itu kini terlipat rapi di map merah milik Yani, tercium samar aroma tinta dan kertas tua setiap kali dibuka. Sejak itu, Yani mencoba melakukan banyak hal—berkoordinasi dengan ustadz asrama, guru BK, dan akhirnya menelepon ibu Husen.
“Ibu mohon… jangan keluarkan dia dari sekolah ini. Kami yakin dia masih bisa berubah,” ucap sang ibu, suaranya basah oleh isak.
Yani hanya bisa diam. Di satu sisi, ia ingin menghormati harapan orang tua. Tapi di sisi lain, ia melihat sendiri betapa Husen makin hari makin tenggelam. Tugas tak dikerjakan. Tatapan makin kosong. Bahkan teman-temannya pun mulai khawatir.
Kembali ke ruang guru, Yani menghela napas panjang. Udara dingin dari AC menampar lembut pipinya, tapi dadanya justru terasa sesak. Ia menyisipkan sesendok kopi instan yang sudah dingin dan getir—rasanya seperti kesedihan yang dipaksakan masuk ke mulut.
Ia lalu menulis di bagian rekomendasi laporan kelas 8N:
"Jika ananda Husen tetap melanjutkan di sekolah ini, maka perlu pendampingan intensif dari BK, wali kelas, dan ustadz asrama dengan program pembinaan terstruktur."
Tangannya gemetar saat mengetik. Bukan karena takut dimarahi, tapi karena takut… keputusan ini tak cukup menyelamatkan.