Rapat pun dimulai. Suara mikrofon tua berderit ketika kepala madrasah berbicara. Suara kertas dibalik, bisik-bisik penilaian, dan ketikan laptop mengisi ruang. Tapi saat giliran Yani bicara, suasana berubah hening.
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh... Saya, selaku wali kelas 8N, ingin menyampaikan laporan perkembangan siswa, sekaligus catatan khusus tentang salah satu siswa kami, Husen.”
Semua menoleh.
“Semenjak awal tahun, Husen telah menunjukkan tanda-tanda ketidaknyamanan emosional dan penurunan motivasi belajar. Kami sudah mencoba pendekatan personal dan komunikasi dengan orang tua. Namun hasilnya belum menunjukkan perbaikan berarti. Maka saya mengusulkan evaluasi mendalam, agar masa depannya tidak terabaikan.”
Yani mengatupkan bibirnya setelah bicara. Tenggorokannya kering, seperti ruang kelas kosong yang tak terisi semangat.
Usai rapat, Yani berjalan keluar gedung. Sinar matahari senja menyentuh kulitnya, hangat tapi menyengat, mengingatkannya bahwa menjadi guru bukan hanya tentang mengajar—tapi juga tentang menanggung luka yang tak selalu terlihat.
Dan di antara semua nilai dan angka di rapor hari itu, catatan untuk Husen adalah yang paling berat ia ketik—karena di sanalah letak nilai kehidupan yang sesungguhnya: mengenali batas, menyadari luka, dan tetap mencintai walau tak dibalas sempurna.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI