Mohon tunggu...
Moh Ikhsani
Moh Ikhsani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Senang menulis topik sepak bola.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Ayahku Superhero

21 September 2022   10:31 Diperbarui: 11 Oktober 2022   13:45 1454
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: freepik.com

Namaku Johan, orang-orang di sekitar memanggilku Jo. Aku anak kedua, punya kakak bernama Kevin. Kami berdua anak dari keluarga sederhana, ayahku bekerja sebagai tukang kayu di ibu kota, sedangkan ibu hanya sebagai ibu rumah tangga.

Aku tinggal di sebuah kota kecil yang diapit dua kota bersejarah pada zaman kerajaan dulu. Kota itu Surakarta dan Yogyakarta, dua kota itu yang mengapit Kota Klaten, kota tempatku lahir dan tumbuh besar.

Aku ingin bercerita mengenai ayahku, sosok pria pekerja keras dan pantang menyerah yang banting tulang untuk menghidupi kedua anak dan istrinya yang berada di rumah.

Pada suatu hari, aku bersama kakakku dan ibuku pergi ke Jakarta. Tujuan kami untuk mengantarkan Kak Kevin ke bandara Soekarno-Hatta. Tapi sebelum itu, kami singgah dulu beberapa hari di Jakarta. Kota di mana ayahku tinggal dan bekerja selama lebih dari 35 tahun lamanya.

Begitu kami sampai di Jakarta, perasaan rindu yang mendalam kepada ayahku akhirnya terbayar lunas saat itu. Aku begitu sedih sekaligus bahagia, akhirnya bisa menjumpai ayahku langsung di mana dia bekerja.

Saat itu langit Jakarta menghitam dan tak lama kemudian turun hujan, lama sekali tak ada habisnya. Kami menunggu langit yang sedang menangis dengan makan di rumah makan yang tak jauh dari hotel kami menginap di daerah Menteng.

Hujan yang deras itu disertai kilatan petir yang silih berganti dari langit yang seolah-olah ingin menyambar orang-orang yang berada di jalanan yang sedang ramai itu.

Suara-suara gemuruhnya menambah suasana sore itu semakin menakutkan.

Tapi kami tak menghiraukan hal itu. Kami memilih untuk terus menikmati sajian ayam goreng yang sudah membuat perut kami berbunyi karena siang hari tak sempat untuk makan siang.

Sambal tomat yang begitu pedas, membuat raut wajah Kak Kevin langsung memerah seperti orang yang sedang marah. Sementara bapakku, lebih dulu menyelesaikan makanannya.

Setelah langit berhenti menangis, dan cuaca menjadi cerah, kami memutuskan langsung kembali ke hotel tempat kami menginap. Sesampainya di hotel, kami berkumpul bersama di kamar 207, kamar kedua yang kami pesan.

Aku begitu bahagia saat itu, melihat ayahku, ibuku, dan kakakku kumpul bersama. Momen yang jarang terjadi sebelumnya.

Ayahku setiap pagi, siang, dan malam selalu keluar hotel membelikan makanan untuk kami. Jiwa inisiatif seorang ayah yang tak mau melihat anak dan istrinya kelaparan sungguh luar biasa.

Sungguh ayah, aku ingin mengucapkan terima kasih sambil memelukmu saat itu juga. Kebaikanmu, kepedulianmu, tanpa mengharapkan imbalan sungguh luar biasa.

Pada Minggu pagi, ibuku mengajak kami ke Pasar Tanah Abang, letaknya tak jauh dari hotel kami menginap, hanya 4 km. Namun, karena aku sibuk dengan tugas-tugas kuliahku yang tak kunjung selesai, dan Kak Kevin juga sibuk mempersiapkan barang bawaannya untuk ke Jepang, akhirnya hanya ayahku seorang yang menemani ibuku.

"Ibu sama Ayah mau ke Pasar Tanah Abang dulu," ucap ibuku kepada aku dan kakakku.

"Beli apa, Bu?" balasku kepada ibuku.

"Mau beli baju buat oleh-oleh saudara di rumah." Ucap ibuku.

"Ooohh, ya sudah. Hati-hati." Ucapku.

Kulihat dari jendela kamar hotel, rupanya ayahku dan ibuku berjalan kaki menuju Pasar Tanah Abang. Aku berpikir saat itu, mengapa tidak naik bajaj atau motor saja, namun seketika terlintas di kepalaku, mungkin saja karena ayahku ingin mengajak ibuku yang baru dua kali ke Jakarta itu untuk menikmati suasana ibu kota dengan lebih santai.

Menikmati suara bajaj yang berseliweran di jalanan ibu kota, melihat para pedagang kaki lima yang sibuk menjajakan dagangannya, serta berjalan menyusuri trotoar tepat di depan hotel-hotel yang dipenuhi oleh mobil-mobil para tamu yang mengganggu jalannya ibu dan ayahku.

Sudah 30 menit ibu dan ayahku belum kembali ke hotel. Tapi aku tak merasa cemas, karena ayahku yang sudah tahu betul seluruh Kota Jakarta itu membuatku tenang.

Di kamar hotel, kulihat Kak Kevin masih sibuk memilih barang-barang yang akan dibawanya ke Jepang. Di sana nanti, dia akan melanjutkan pendidikan S-3 selama tiga tahun. Itu berarti, aku dan kedua orang tuaku akan berpisah selama tiga tahun lamanya dengan kakakku itu.

Sungguh waktu yang lama untuk berpisah, namun apa boleh buat, itu demi cita-cita kakakku yang sempat tertunda selama tiga tahun.

Setelah dua jam lamanya, akhirnya ayah dan ibuku pulang ke hotel dengan membawa dua kantong plastik berisi baju-baju kebaya aneka warna. Seperti ibuku bilang, baju-baju itu akan dibagikan kepada saudara yang berada di rumah.

Waktu sudah menunjukkan siang hari, ayahku lagi-lagi keluar dari hotel untuk membelikan makan siang kami. Aku terharu, ayahku yang sudah lama di Jakarta itu, mungkin saja menganggap kami tidak tahu jalanan Jakarta, yang membuatnya berinisiatif untuk dia saja yang keluar membelikan makanan untuk kami.

Sepulang membeli makanan, ayahku membawa gudeg kepada kami, makanan kesukaanku, yang hampir setiap satu kali dalam seminggu, aku pasti memakannya sewaktu di kampung.

Semua aktivitas dihentikan saat itu juga, kami dengan lahap menikmati makan siang kami yang sangat lezat.

Malam harinya, setelah salat Isya, kami semua jalan-jalan ke luar hotel. Menikmati suasana ibu kota yang tentunya sangat berbeda dengan suasana di kampung.

Kulihat anak muda-mudi berboncengan dengan mesra, lalu sepasang suami istri yang menggendong kedua anaknya menyeberang jalan, hingga para tukang ojek online yang sedang menunggu penumpang di depan hotel tempat kami menginap.

Walaupun malam itu bukan malam Minggu, namun jalanan dan mal dipenuhi oleh orang-orang yang menghabiskan waktu malamnya di luar bersama teman, kekasih, maupun keluarga.

Dengan berjalan kaki menyusuri trotoar depan hotel tempat kami menginap, kami pergi ke Mal Sarinah. Mal yang memiliki sejarah panjang itu begitu ramai sekali ketika kami tiba di sana. Di sebelah kirinya, terdapat tempat untuk acara musik di luar ruangan.

Para penonton duduk rapi di anak tangga, ada juga yang berdiri dengan tangan bersedekap, sedangkan penyanyinya berada di bawah. Lampu yang berkelap-kelip menambah suasana malam itu menjadi lebih romantis.

Kami pun bergabung dengan penonton lain menyaksikan acara musik itu dengan duduk di anak tangga yang jumlahnya ratusan banyaknya.

Setelah selesai membawakan lagu terakhir, para penonton turun dari tempat duduknya dan memasukkan sejumlah uang ke kotak kardus tepat di depan penyanyi itu berdiri.

Setelah dua jam kami keluar dari hotel menikmati suasana malam hari. Kami putuskan untuk kembali ke hotel.

Suara bising mesin pendingin ruangan yang seperti mau rusak menemani tidur malamku yang dipenuhi dengan mimpi-mimpi indah, yang membuatku tak mau menceritakan kepada siapa pun. Karena hanya diriku seorang yang boleh tahu.

Sudah dua hari kami menginap di hotel, itu berarti tinggal satu hari lagi waktuku bersama kakakku sebelum pergi ke Jepang.

Tidak mau kusia-siakan waktuku yang tinggal sedikit itu, aku mengajak ayahku dan kakakku untuk pergi ke Masjid Istiqlal pagi itu. Masjid yang berdiri megah di pusat kota berhasil menarikku.

Kulihat bagian dalam, 12 pilar besar yang menandakan tanggal kelahiran Rosul menjulang ke langit menopang kubah raksasa masjid itu.

Kupijakkan kakiku pada lantainya, dan kurasakan begitu dingin lantai masjid yang beralaskan marmer itu. Pasti ada mesin pendinginnya di bawah sini, ucapku dalam hati.

Bangunan yang sangat megah, suasana yang begitu sejuk, ditambah cahaya matahari yang masuk dari sela-sela pintu dan jendela masjid, membuat masjid itu menjadi sangat indah.

Kami menghabiskan waktu selama satu jam di sana. Sebelum pulang ke hotel, ayahku membelikan aku dan kakakku dua bungkus ketoprak untuk makan siang kami. Ayahku tahu, rasa lapar itu telah membuat cacing-cacing di perut protes keras kepadaku.

Kami pun pulang ke hotel tempat kami menginap dengan menaiki bajaj berwarna biru, warna kesukaan ibuku.

Selama di perjalanan, ayahku menceritakan kepadaku kisah-kisah awal dirinya ke Jakarta, mengadu nasib, yang waktu itu dia tak tahu akan berhasil atau tidak. Tuntutan keluarga yang membuatnya berani seorang diri di umur 17 tahun datang ke ibu kota.

Dijelaskan kepadaku, tempat-tempat biasa ayahku mengerjakan pesanan mebel. Dijelaskan pula kepadaku, orang-orang yang pernah membantunya di saat-saat sulit menghampiri.

Begitu sedih kudengarkan cerita-cerita itu dari mulut ayahku, kubasuh air mata yang mulai menetes pelan dari kedua mataku, kurasakan begitu sulitnya ayahku mengais rupiah untukku. Sungguh, aku ingin menangis sekeras-kerasnya, tak peduli jika semua orang mendengarnya.

Ayahku, terima kasih atas ceritamu yang berhasil membuatku menangis, merasakan kesedihanmu di kala aku dan kakakku di rumah tak tahu apa yang sedang terjadi padamu.

Kami sampai di hotel setelah 20 menit perjalanan.

Aku dan kakakku langsung turun dari bajaj dan menuju kamar. Sementara ayahku masih di luar membayar ongkos pada sopir bajaj yang berambut pirang seperti bule.

Sesampainya di kamar, bajuku basah, panas matahari pada siang itu membuat badanku basah akan keringat yang bercucuran. Aku langsung mandi, menikmati segarnya air shower hotel yang mengalir dari ujung kepala hingga kaki.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun