"Maafkan saya yang telah jauh berlari dalam hidupmu, wahai dara jelita," ucap sang sastrawan usai keduanya melalui malam yang penuh kesesataan.Â
Keindahan malam telah mareka jelmakan sebagai malam kegelapan nurani. Dara hanya terdiam. Airmata bahagia mengalir dari bola matanya yang cantik. Senyum kebahagian mengambang dari bibir mungilnya. Tak ada rasa sesal.
Dara seakan tak bernafas, ketika usai kuliah seorang temannya memberitahukan bahwa Dian Akew sang sastrawan telah meninggal karena tabrakan saat sang sastrawan itu akan pentas menuju sebuah Kota. Jantungnya seakan mau lepas dari rangkaiannya. Hanya jerit tangis sebagai kompensasi hatinya.Â
Duka hatinya sungguh lara. Padahal baru semalam mareka bercerita tentang masa depan yang akan mareka rengkuh dalam biduk perahu yang sakral. Biduk kehidupan.
"Apakah dik Dara bisa mempertemukan aku dengan keluarga di pulau seberang? Rasanya sudah tak pantas kalau kita tak satu perahu. Sudah banyak manusia bejad di dunia ini. Kita mestinya jangan mengikuti jejak langkah mareka," ujar Dian Akew malam itu.
Dan yang amat membanggakan dan membahagiakannya sebagai anak, Â ketika kuliahnya selesai kendati lara dan kedukaan menjadi penghias hidupnya selama di perantauan dan menuntut ilmu.Â
Dan ini yang membanggakan keluarganya di kampung, ketika Dara pulang dengan membawa gelar kesarjanaannya. Ada rasa bahagia yang menepuk dada dan raganya saat melihat kebahagian yang dirasakan orang tuanya, keluarga besarnya dan saudara-saudaranya yang lain di Kampung.
Sebagai orangtua, sang Ayah menginginkan putrinya hadir sebagai pembawa martabat keluarga. Bekerja sesuai bidang pengetahuannya. Alasann ayahya jelas. Dara berpendidikan. Dara adalah lulusan sekolah tinggi dan bergelar S1.
"Masa sih seorang anak perempuan berprofesi sebagai penulis dan pembaca puisi dari kampung ke kampung,? Buat apa kamu sekolah tinggi-tinggi kalau hanya ingin menjadi seorang penulis cerita dan pembaca deklamasi," tanya Sang Ayah penuh kegeraman. "Buat apa kami menghabiskan uang untuk menyekolahkan dirimu ke kota kalau kamu kerjanya hanya membaca pusi dan berdeklamsi? Buat apa," sambung Ayahnya lagi.
Dara selalu tidak menjawab. Wanita muda ini lebih baik diam. Tak ada guna berdebat dengan Sang Ayah. Toh ujung-ujungnya dirinya tetap akan mengalah dan mengalah.
Setidaknya siang itu sudah tigabelas kali nomor tanpa nama di hp nya  mengejutkan dirinya. Perasaan malas mengangkat hp menjadi alasannya kenapa dia membiarkan nomor itu terus berdering tanpa henti dan malu. Dan  entah karena dorongan apa, tiba-tiba keinginanya mengangkat hp itu mengumpal.
Dan...