"Hallo, apakah ini Dara," sapa suara dari seberang lewat hp.
"Oh, iya. Maaf ini dengan siapa ya," jawab Dara.
"Waduh Mbak Dara. Masa sih lupa ya dengan suara saya. Ini, Rian. Teman dekat kostnya Mbak Dra waktu kuliah dulu," ujar Rian lewat telepon genggamnya model terbaru.
"Oh, mas Rian. Apa kabar? Dimana sekarang? Kerja dimana,' Bibir tipis Dara terus menyerocos bernarasi tanpa irama. Bak mesin cuci yang terus menggiling baju tanpa henti hingga bersih.
Tertawa lepas dan bahagia  mengisi hari Dara saat itu. Telepon berikutnya berlanjut. Terus berlanjut tanpa kenal waktu.  Hanya telepon dan telepon kini yang ada diotak kananya.Â
Kini  hanya nomor telepon Rian yang selalu Dara nantikan.Setidaknya kini Rian menjadi pengisi hari-harinya. Membuat harinya sarat dengan warna kehidupan. Beragam inspirasi pun Dara lahirkan lewat pertemanan yang disalurkannya lewat media dan tulisan. Â
Gelak tawa dan canda serta bahagia menjadi teman hidupnya kini. Kegalauan hatinya mulai menipis dan terobati. Obatnya adalah telepon dari Rian yang selalu hadir mengisi hari-harinya kini.
Dan kini telepon Rian adalah sesuatu yang amat ditunggu Dara sebagaimana rakyat negeri ini menunggu kehadiran pemimpin yang akan selalu membahagiakan rakyat dengan aksi -aksi nyata dan bukan retorika tanpa arah dan diksi-diksi berbungkus kebohongan semata.
Malam itu adalah malam yang membahagiakan. Pertemuannya dengan Rian sungguh membawa kebahagian. Kebahagian yang tak terkira.
Bagaimana tidak, Rian kini telah menjelma sebagai seorang lelaki perkasa dan jantan. Berbeda 180 derajat dengan Rian yang Dara kenal dulu saat mareka masih kost di Kota. Kesejatian sebagai lelaki dimilikinya. Pekerjaan jelas.  Karier terpandang.Masa depan jelas. Dan lelaki seperti Rian lah  yang menjadi impian Sang Ayah untuk dirinya.
Namun keinginan Dara untuk menuntaskan perjalanan hidupnya sebagai penulis dan penyebar diksi-diksi indah di halaman hati rakyat tak terbendung.Â