Ia merapihkan kembali topinya yang sepertinya sudah lama kusut sedari tadi. Tapak kakinya kembali sampai di pinggir sungai Amstel ketika matahari di barat menunjukkan warna jingganya. Angin membelai halus rambut pirangnya yang membulat batok kelapa. Mata birunya terbelalak melihat lalu lalang gondola yang cantik tersapu cahaya senja. Tangan kecilnya menggapai tangan keriput dan kusut dari pria tua di sampingnya.
"Kakekkk!" ujar bocah kecil itu sambil berlari kecil, "Nanti ketika aku sudah tinggi seperti Daniel, aku ingin membelikan kakek gondola untuk kita naiki di sore hari seperti ini. Oh! tapi aku tidak benar-benar ingin seperti Daniel, ia tinggi tapi tidak memiliki banyak uang. Gondola itu pasti sangat mahal, jadi aku ingin memiliki uang yang banyak!" Bocah polos itu sangat ceria.
"Wahh, kau sangat bijak, Matthew. Tentu saja kau akan bisa membelikan satu gondola yang punya lima tempat duduk untuk kita naiki bersama. Selain Daniel, mari ajak Marianne dan anjingnya Lyn. Kita akan selalu bersenang-senang bersama di sore hari."
"Tentu, kakek! Mari ajak mereka bersama. Aku juga akan berbagi Eierkoek kesukaanku untuk semua orang. Kakek berjanjilah kita akan melakukannya bersama, Janji?" ucap bocah itu berantusias.
"Iya, Matthew. Kita akan naik gondola bersama."
Butuh untuk menyisihkan sekitar 50 Euro untuk sekadar menyewa gondola di sungai Amstel. Bayangkan saja butuh berapa Euro untuk membeli sebuah gondola. Phillip mengiyakan perkataan cucunya begitu saja bukan hanya agar cucunya tidak kecewa. Ia memang benar-benar mempercayainya. Baginya, imajinasi dari anak-anak itu luar biasa. Ia mendorong cucunya untuk percaya bahwa imajinasinya itu nyata dan akan segera terwujud. Ia percaya akan betapa dahsyatnya kekuatan dari sebuah imajinasi anak-anak. Sekalipun perihal ketuhanan pun, ia menganggap anak-anak lebih dekat dengan-Nya. Dalam mencapai Tuhan, imajinasi itu berada diatas rasionalitas dan berada di bawah spiritualitas. Imajinasi adalah rasional yang terspiritualitaskan dan spiritual yang terrasionalitaskan.
Ilmuwan dunia sekelas Albert Einstein pun meyakini bahwa "imajinasi itu lebih penting daripada pengetahuan".
Kini cucunya sudah berumur 6 tahun. Phillip mengasuhnya, Matthew, sejak ia masih bayi. Ayahnya meninggal secara terhormat ketika bertugas di batas negara. Ibunya menikah lagi beberapa bulan setelah melahirkan dan tidak pernah mengunjungi anaknya setelah itu.
Kehidupan mereka tergolong miskin. Mereka hidup serumah dengan Daniel, anak Phillip yang berdedikasi untuk tetap melajang seumur hidup; yang sama miskinnya dengan mereka. Untung saja masih ada Marianne, wanita paruh baya pemilik toko kue kecil sebelah rumah yang kerap berbagi kue dan biskuit pada mereka atau sekadar membantu urus Matthew kecil.
Marianne hanya tinggal berdua dengan anjingnya, Lyn. Ia sangat menyukai surat-menyurat --- sepertinya untuk mengatasi kesepian. Ia sering mengirim dan mendapat surat dari anak-anaknya yang semuanya merantau ke kota-kota besar di negeri jauh, kerabat-kerabatnya juga sering berkirim surat padanya. Setiap pagi sambil menggendong Matthew, ia menaruh surat-surat di kotak pos, dan pada pagi-pagi berikutnya ia mengambil surat balasan. Kebiasaan kecilnya itu nampaknya diamati oleh Matthew hingga ia bertumbuh. Sepertinya ia juga menyukainya.
"Marianne! Aku akan ambil suratnya untukmu!" kaki kecilnya berlari menuju kotak pos depan rumah Marianne.
Marianne tersenyum hangat, "Tentu, Matt! Ambil semuanya jangan sampai ada yang terjatuh, termasuk kau!"
Tangan mungilnya mengambil tumpukan surat, Matthew heran entah mengapa selalu banyak surat disini, rupanya wanita ini menghabiskan waktu hanya untuk kue dan surat saja.
Mereka memiliki kebiasaan mengadakan perjamuan teh bersama tetangga terdekat setiap akhir pekan. Memutar lagu-lagu Belanda klasik bergenre Levenslied yang berinstrumenkan akordeon dan organ laras. Mengobrol tentang pakan ternak yang menghasilkan ternak gemuk, hasil perkebunan yang anjlok tahun ini, sampai dengan menggosip kisah asmara anak-anak mereka.
Marianne memberikan Matthew sepiring biskuit kesukannya dengan secangkir susu ditengahnya. Matthew yang sedari tadi duduk di kursi dengan segera meraihnya.
"Terima kasih, Marianne." ucapnya.
"Tentu, sayang. Kau mau kutemani mengobrol?" Marianne menawarkan.
"Iya, Marianne. Temani aku selagi aku menghabiskan biskuit ini. Aku tidak ingin Daniel mengambil paksa milikku seperti pekan lalu." mukanya sinis melirik sindir Daniel yang duduk di sampingnya. Seperti biasa ia memang tidak suka berbagi biskuit kesukaannya itu kepada oranglain, kecuali pada kakeknya.
"Oh, sayang, ia hanya menggodamu. Ketahuilah segala tingkah lucumu itu membuat hangat hati kami. Tuhan akan melindungi biskuitmu itu dari Daniel."
Muka Matthew masih tampak sebal sekalipun Marianne mencoba melapangkan hatinya. Ia tampak semakin menggemaskan dengan pipinya yang memerah. Marianne dan Daniel tertawa kecil melihat perangai bocah yang mudah sekali kesal itu.
"Apakah tuhan sungguh bisa melakukan itu, Marianne? Kalau begitu aku akan meminta Tuhan memberiku banyak Eierkoek dan biskuit anti-Daniel!" Matthew berteriak dengan gemasnya hingga seisi ruangan pun mendengarnya. Semua orang tertawa.
"Dan, aku juga akan meminta Tuhan untuk membawa pulang ayahku agar kakek Phillip tidak lagi meringkuk di tengah malam." Matthew melanjutkan bicara dan semua orang di ruangan hening sekejap. Mereka tau bahwa itu adalah hal yang sangat sensitif bagi Phillip, ia memang tidak pernah benar-benar bisa melepaskan putranya. Semua orang mencoba kembali pada aktivitas sebelumnya dengan canggung, Marianne mengalihkan Matthew dengan mengajaknya mengobrol hal yang lain.
"Kau ingin menemaniku mengambil surat, Matt?"
Matthew mengangguk gembira seperti biasa.
Marianne menggendongnya dan menyuruh tangan mungilnya mengambil tumpukan surat seperti biasa.
"Marianne, apakah Tuhan benar-benar seajaib itu?" rupanya Matthew masih ingin obrolan itu dilanjutkan.
"Tentu, Matt. Kakekmu sedang hidup bersama dengan ayahmu selama ini. Itu adalah kau. Tuhan memberinya seseorang yang jauh lebih berharga. Bagi Phillip, kau lebih dari putranya. Kau adalah jiwa dari jiwanya. Maka dengan alasan kehadiranmu saja, kakekmu sudah sangat bahagia melebihi alasan apapun."
"Begitukah, Marianne? Berarti Tuhan itu superhero, ya? Apakah ia sangat besar dah gagah seperti Hulk? Kuat seperti Superman? Atau bisa terbang seperti Spiderman? Woahhh, kalau begitu aku tidak perlu mencemaskan kakek dan biskuitku lagi. Karena jika Tuhan sehebat itu berarti ia bisa melindungi kesayanganku dengan mudahnya. Benar bukan, Marianne? Oh! aku juga akan meminta pada-Nya untuk memberi kue dan biskuit yang lezat seperti buatanmu untuk anak-anakmu, Marianne!"
"Tentu, Matt Sayang. Kau bisa memintanya. Ia akan memberikan semua yang kau minta" mata Marianne menahan haru mendengar kalimat yang sangat mendalam dari bocah berumur 6 tahun. Terdengar seperti seorang guru sedang memberinya pemahaman, tentang arti keyakinan.
"Woaahh, aku sangat kagum dan cinta pada Tuhan, Marianne! Ia terdengar sangat hebat bagiku. Sepertinya aku telah mengidolakannya!" Matthew melompat kegirangan.
Suatu hari Phillip jatuh sakit, tindakan operasi harus segera dilakukan untuk menyelamatkan nyawa kakek tua itu. Tapi mereka tidak memiliki cukup uang untuk membayarnya. Dengan terpaksa Daniel membawa pulang kembali ayahnya untuk melakukan perawatan di rumah saja. Namun kondisinya tak kunjung membaik.
Matthew kecil merasa sedih melihat kakeknya, mereka juga tidak lagi pergi ke sungai Amstel untuk melihat gondola. Hanya Marianne yang beberapa kali mengajaknya pergi, tapi tetap saja tidak bisa menggantikan rasa bahagia ketika ia pergi bersama kakeknya.
"Kakek, aku tidak ingin lagi naik gondola. Aku lebih ingin kakek sembuh saja. Ternyata yang membuatku bahagia adalah bukan karena gondolanya, tetapi dengan siapa aku pergi melihatnya." kata Matthew yang berada di tepi ranjang.
"Tidak, Matt. Kau harus tetap membelikan gondola untukku nanti. Kau harus tetap menginginkannya karena dengan itu aku akan sembuh, kau ingat aku sudah berjanji akan selalu menaiki gondola itu denganmu bersama-sama di sore hari, 'kan?"
"Benarkah? Apakah kakek benar akan sembuh jika aku tetap menginginkannya?"
Phillip mengangguk dan tersenyum.
"Baiklah, kakek bersabar, ya. Aku akan memintanya kepada Tuhan setiap hari. Kata Marianne, Tuhan itu hebat bisa memberikan permintaan apa saja. Kemarin lusa aku meminta kepada Tuhan agar diberikan permen lolipop yang aku lihat di toko dekat sungai Amstel ketika berjalan-jalan bersama Marianne, dan esoknya aku mendapati lolipop itu dibalik bantal tidurku. Tuhan sungguh ajaib kan, kakek!" ujar Matthew dengan sangat antusias.
Philip mengangguk lagi dan tertawa melihat tingkah lucu cucunya. Ia mengelus rambut pirangnya. Ia mengetahui bahwa Marianne-lah yang menaruh permen itu. Rupanya wanita paruh baya itu ingin agar Matthew tetap dalam keyakinan dan imajinasinya, sama seperti yang dilakukan Phillip.
"Oh! Sepertinya aku akan melakukan sesuatu! Kakek tunggu di sini aku akan segera kembali!"
Matthew beranjak dari kamar Phillip dan berlari menuju rumah Marianne. Ia menarik lembut pakaian Marianne yang sedari tadi sedang membuat kue.
"Marianne! Marianne! Biasakah kau berikan kertas dan pena padaku?"
"Untuk apa, sayang?" timpal Marianne sembari tetap mengaduk adonan Eierkoek.
"Aku ingin menulis surat untuk Tuhan."
Marianne berhenti dengan aktivitasnya, dengan wajah penuh kehangatan ia menanggalkan sarung plastik di tangannya. Ia mengambil secarik kertas kusam cokelat, sebotol tinta dan sehelai pena burung. Matthew kecil mulai menulis, ia sudah hafal alfabet dan mampu merangkainya menjadi kalimat.
Pada bait kedua Matthew berhenti menulis, mendongakkan kepalanya. Ia terlihat berpikir.
"Marianne? Bisakah kau katakan padaku dimana Tuhan berada? Agar aku bisa menuliskan alamatnya" tanya polos Matthew.
"Menurutmu, kau merasakan Tuhan berada dimana, Matt?"
"Ummm, ia sangat besar, kuat, dan ajaib. Kurasa tanah ini pun tidak sanggup menopangnya. Aku berpikir bahwa ia berada jauh di atas. Dan sedang melihat kita menggunjingnya sekarang. Apakah itu benar, Marianne?"
"Jika kau meyakininya demikian maka kau benar, Matt."
Kepada: Tuhan
Alamat: Di Atas
Tuhan, superheroku yang baik, ini aku, Matthew. Hari ini kakek Phillip sedang sakit. Daniel membawanya kembali kerumah setelah beberapa hari di rawat di rumah sakit, aku tidak tau mengapa ia lakukan padahal kondisinya tidak lebih baik daripada kemarin. Tapi aku sempat mendengar percakapan bahwa kakek butuh operasi. Aku tidak mengerti hal atau apakah itu. Tapi apakah itu adalah obatnya, Tuhan? Jika iya, bisakah kau kirimkan itu pada kami agar kakek Phillip sembuh?
Tuhan, aku sangat ingin kakek sembuh karena aku sudah berjanji akan membelikannya gondola untuk kami naiki bersama Daniel, Marianne, dan Lyn di sungai Amstel. Kakek harus sembuh untuk menepati janjinya. Oh! Jika tidak keberatan bolehkah aku minta tambahan permintaan, Tuhan? Sepertinya aku mulai kasihan pada Daniel, seharian ia mencekat kerongkongannya agar aku dan kakek bisa makan kuenya. Bisakah kau berikan setoples Eierkoek untuk Daniel, Tuhan? Dan kau sungguh amat baik hati bila memberiku satu permen saja sebagai bonus, hehe.
Rumah kami berwarna cat cokelat tua dengan bunga Hyancinth di halaman, terapit diantara bangunan megah di Kota Uithoorn jalan Van Eerbeeklaan di dekat gereja de Schutse. Tidak ada bangunan rumah tua selain milik kami disana, jika menemukannya maka itulah rumah kami. Matthew menunggumu bertamu, Tuhan.
Salam sayang, Matthew
Matthew meletakkan surat itu di meja dapur Marianne. Ia berpesan agar surat itu diberi amplop rapi dan segera dikirimkan. Ketika ia sudah pergi dari rumah Marianne, Daniel datang memberikan sekotak titipan bahan kue untuk Marianne seperti biasa. Ia melihat surat Matthew tergeletak dan mulai membacanya.
"Matthew yang menulisnya?" ucap Daniel, sepucuk surat terapit diantara ibu jari dan telunjuknya.
"Iya, keponakanmu yang menulisnya." jawab Marianne sedikit acuh karena sibuk menguleni adonan kue.
"Aku tahu ini sangat manis, Marianne. Tapi kau mau apa dengan surat ini? Kau tidak cukup gila untuk sungguh-sungguh mengirimnya ke kantor pos, kan?" Daniel sedikit tertawa mengejek.
"Daniel," Marianne mendekat dan menatap tajam mata Daniel, "Jika ada yang gila disini maka itu adalah kau. Apa kau tidak bisa merasakan betapa kuatnya keyakinan keponakanmu itu? Aku ragu apa kau benar-benar percaya pada Tuhan atau tidak. Daniel, dengarkan ini, hidup manusia adalah apa yang dipikirkannya. Ketika kau benar-benar yakin atas apa yang kau lakukan, maka semesta akan mewujudkannya untukmu sekalipun itu adalah hal yang terlihat mustahil untuk saat ini."
Marianne benar-benar mengirim surat Matthew ke kantor pos. Sekitar dua minggu setelahnya, orang-orang dari Lembaga Swadaya Masyarakat mendatangi rumahnya. Phillip berhasil di operasi, keadaannya membaik. Bagai tertimpa keberuntungan, para wartawan mulai berdatangan, wajah Matthew dan kakek Phillip berseliweran di koran lokal. Seorang pengusaha tergerak hati untuk membelikan gondola untuk Matthew. Perekonomian mereka terbantu cukup banyak. Mimpi untuk mengajak keluarganya menaiki gondola miliknya sendiri terwujud. Tapi beberapa hari setelahnya, kakek Phillip meninggal. Matthew tetap mengajak kakeknya berjalan-jalan setiap sore menaiki gondola pribadinya di sungai Amstel, tetapi dalam bentuk abu dalam guci kremasi.
Terdengar seperti dongeng? Mari melihat lebih dekat apa yang sebenarnya telah terjadi.
Saat itu, Marianne mengirimkan surat Matthew kepada LSM besar di Kota Amsterdam dengan surat pengantar yang menyentuh. Isinya menjelaskan bahwa yang menulis surat itu adalah Matthew, seorang anak berumur 6 tahun tanpa ayah dan ibu yang tinggal bersama kakek dan pamannya yang miskin. Ia juga menjelaskan tentang latar belakang Phillip yang merupakan veteran Belanda yang ditelantarkan oleh negara, juga putranya, ayah dari Matthew yang meninggal saat bertugas dan negara tidak memberinya santunan dalam bentuk apapun sehingga mereka bisa sangat miskin sekalipun mereka adalah orang yang berjasa untuk negara. Marianne menyelipkan foto hitam-putih milik Matthew dan Phillip yang tampak sangat hangat.
LSM Amsterdam menerima surat itu, mereka terenyuh dan berencana untuk memperjuangkan hak-hak yang seharusnya didapat oleh keluarga Phillip serta menyalurkan bantuan untuk biaya operasinya. Tim LSM mulai membagikan potret dan kisah hidup Phillip dan Matthew melalui kanal sosial media mereka. Simpati masyarakat yang tinggi menimbulkan para wartawan terus bergerak untuk mencari berita-berita lain tentang keluarga Phillip. Wartawan berdatangan ke lokasi.
Sorotan yang begitu banyak terhadap berita Phillip dan Matthew, menggerakkan beberapa pengusaha yang entah benar-benar peduli dan tergerak hatinya atau hanya sekadar mencari panggung eksistensi.
Keluarga Phillip mendapat banyak bantuan ekonomi, termasuk untuk pembelian gondola pribadi. Kini mereka mulai sejahtera. Satu demi satu apa yang seharusnya mereka dapat dari dulu terwujud. Tapi, Tuhan selalu adil. Yin selalu berdampingan dengan yang, kebahagiaan selalu berdampingan dengan kesusahan, begitu sebaliknya. Kini masa depan Matthew kecil yang cerdas tampak terjamin, namun Sang Pencipta menjemput Phillip untuk pulang.
Tuhan benar-benar menerima surat Matthew dan bertamu ke rumah kecilnya, meninggalkan balasan karma baik dan menjemput Phillip untuk pulang bersama-Nya.
Mungkin itulah mengapa imajinasi itu lebih penting daripada pengetahuan. Karena imajinasi membuat akalmu menemukan jalan untuk membuat hal yang mustahil, menjadi realistis. Jika pengetahuan bersifat terbatas, imajinasi justru melingkupi dunia tanpa batas. Ia tidak sekadar sebagai energi yang menggerakkan, tetapi juga merangsang kemajuan hingga melahirkan evolusi, bahkan revolusi.
Peradaban tidak akan pernah mengenal hukum gravitasi universal, jika saat itu Sir Issac Newton tidak pernah berimajinasi tentang bagaimana bisa sebuah pohon apel menjatuhkan buahnya ke tanah dan bukannya melayang di udara.
Penulis : Melati IL
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI