Matthew meletakkan surat itu di meja dapur Marianne. Ia berpesan agar surat itu diberi amplop rapi dan segera dikirimkan. Ketika ia sudah pergi dari rumah Marianne, Daniel datang memberikan sekotak titipan bahan kue untuk Marianne seperti biasa. Ia melihat surat Matthew tergeletak dan mulai membacanya.
"Matthew yang menulisnya?" ucap Daniel, sepucuk surat terapit diantara ibu jari dan telunjuknya.
"Iya, keponakanmu yang menulisnya." jawab Marianne sedikit acuh karena sibuk menguleni adonan kue.
"Aku tahu ini sangat manis, Marianne. Tapi kau mau apa dengan surat ini? Kau tidak cukup gila untuk sungguh-sungguh mengirimnya ke kantor pos, kan?" Daniel sedikit tertawa mengejek.
"Daniel," Marianne mendekat dan menatap tajam mata Daniel, "Jika ada yang gila disini maka itu adalah kau. Apa kau tidak bisa merasakan betapa kuatnya keyakinan keponakanmu itu? Aku ragu apa kau benar-benar percaya pada Tuhan atau tidak. Daniel, dengarkan ini, hidup manusia adalah apa yang dipikirkannya. Ketika kau benar-benar yakin atas apa yang kau lakukan, maka semesta akan mewujudkannya untukmu sekalipun itu adalah hal yang terlihat mustahil untuk saat ini."
Marianne benar-benar mengirim surat Matthew ke kantor pos. Sekitar dua minggu setelahnya, orang-orang dari Lembaga Swadaya Masyarakat mendatangi rumahnya. Phillip berhasil di operasi, keadaannya membaik. Bagai tertimpa keberuntungan, para wartawan mulai berdatangan, wajah Matthew dan kakek Phillip berseliweran di koran lokal. Seorang pengusaha tergerak hati untuk membelikan gondola untuk Matthew. Perekonomian mereka terbantu cukup banyak. Mimpi untuk mengajak keluarganya menaiki gondola miliknya sendiri terwujud. Tapi beberapa hari setelahnya, kakek Phillip meninggal. Matthew tetap mengajak kakeknya berjalan-jalan setiap sore menaiki gondola pribadinya di sungai Amstel, tetapi dalam bentuk abu dalam guci kremasi.
Terdengar seperti dongeng? Mari melihat lebih dekat apa yang sebenarnya telah terjadi.
Saat itu, Marianne mengirimkan surat Matthew kepada LSM besar di Kota Amsterdam dengan surat pengantar yang menyentuh. Isinya menjelaskan bahwa yang menulis surat itu adalah Matthew, seorang anak berumur 6 tahun tanpa ayah dan ibu yang tinggal bersama kakek dan pamannya yang miskin. Ia juga menjelaskan tentang latar belakang Phillip yang merupakan veteran Belanda yang ditelantarkan oleh negara, juga putranya, ayah dari Matthew yang meninggal saat bertugas dan negara tidak memberinya santunan dalam bentuk apapun sehingga mereka bisa sangat miskin sekalipun mereka adalah orang yang berjasa untuk negara. Marianne menyelipkan foto hitam-putih milik Matthew dan Phillip yang tampak sangat hangat.
LSM Amsterdam menerima surat itu, mereka terenyuh dan berencana untuk memperjuangkan hak-hak yang seharusnya didapat oleh keluarga Phillip serta menyalurkan bantuan untuk biaya operasinya. Tim LSM mulai membagikan potret dan kisah hidup Phillip dan Matthew melalui kanal sosial media mereka. Simpati masyarakat yang tinggi menimbulkan para wartawan terus bergerak untuk mencari berita-berita lain tentang keluarga Phillip. Wartawan berdatangan ke lokasi.
Sorotan yang begitu banyak terhadap berita Phillip dan Matthew, menggerakkan beberapa pengusaha yang entah benar-benar peduli dan tergerak hatinya atau hanya sekadar mencari panggung eksistensi.
Keluarga Phillip mendapat banyak bantuan ekonomi, termasuk untuk pembelian gondola pribadi. Kini mereka mulai sejahtera. Satu demi satu apa yang seharusnya mereka dapat dari dulu terwujud. Tapi, Tuhan selalu adil. Yin selalu berdampingan dengan yang, kebahagiaan selalu berdampingan dengan kesusahan, begitu sebaliknya. Kini masa depan Matthew kecil yang cerdas tampak terjamin, namun Sang Pencipta menjemput Phillip untuk pulang.