Mohon tunggu...
Mahyu Annafi
Mahyu Annafi Mohon Tunggu... Guru Ngaji

Hamba yang sedang belajar menulis, suka membaca dan menelaah berbagai pemikiran. Saya condong menulis ke dunia pendidikan, mental, politik dan isu sosial. Angkatan ke 38 di Kelas Menulis Rumah Dunia (KMRD) di Serang.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Isteri yang Tak Lagi Hangat

7 Agustus 2025   00:37 Diperbarui: 7 Agustus 2025   00:37 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi yang tak lagi hangat. (Sumber: Pixabay.com)

"Sudah sih, simpan itu hape!" Seruku yang jengkel karena kebersamamaan kami terganggu.

"Apa sih, ini aku dekat kamu. Duduk dengan kamu. Kenapa pakai teriak segala. Kan cuma pegang hape, lagian aku dengarkan kamu ngomong kok."

"Siapa sih yang teriak?"

Baca juga: Tak Lagi Sama

"Kamu lah, kok masih tanya."

"Aku cuma tidak merasa nyaman, lagi bersama kok main hape."

"Cuma iseng kok, yang begini dibesar-besarkan kamu ah." 

Dia pun berjalan ke kamar melanjutkan aktivitas rutinnya: scrool medsos. 

***

Semenjak rutin ketemu dengan teman-temannya di grup WhatsApp, ada perubahan signifikan yang aku rasa. Dia yang biasanya ramah, sekarang terasa lebih jutek. Tiap pulang kerja biasanya menyambut dengan senyum manis, kini terasa hampa dengan kesibukannya.

Sebenarnya aku tidak masalah dia main hape. Hape di era ini memang jadi kebutuhan. Kita dimudahkan dengan kemajuan tersebut. Cuma inginku, harus punya batas dan ukuran. Kapan dan gimana harus bersikap.

"Kamu jam segini baru pulang?" Cecarku melihatnya pulang malam.

"Kamu juga, kan?"

"Aku jelas pulang kerja. Kamu tahu itu. Cuma kamu, apa yang dilakukan?"

"Aku habis reuni sama teman-teman."

"Pulang jam sembilan malam karena habis reuni?"

"Ya."

"Kamu sadarkan?"

"Sadarlah, di kira aku gila," ia menatapku dengan tatapan dingin nan tajam.

"Apa sih maumu, kok sekarang bertingkah aneh?"

"AKU BOSAN!"

Kalau saja aku tidak ingat nasihat Emak mungkin sudah aku pukul dia. Tapi, apa untungnya api dibalas api. Semarah apa pun aku selalu berusaha tidak melakukan kekerasan fisik. Bukan tidak bisa, bisa saja. Tapi rasa cintaku lebih besar dari rasa marah itu.

"Dah ah, hayuk temani aa makan malam. Aa belum makan. Ini tadi beli nasi bungkus kesukaan kamu," ujarku mendinginkan susana.

"Gak mau, masih kenyang."

Aku tak ambil pusing, aku pegang tangannya dan tuntun ke meja makan. Meski agak meronta, toh dia mau juga. Aku tahu, dia belum makan setidaknya terlihat dari wajahnya yang layu. Kami pun makan dengan kesunyiaan. Sesuatu lain di fase hubungan kami.

***

"Aa berangkat dulu ya," kataku mengecup keningnya. 

Pagi ini ia bangun kesiangan. Sampai jam 7 pagi masih lelap di mimpinya. Tak apa, mungkin dia kelelahan. Ketika aku pamit,ia terbangun dan terperanjat. Aku tersenyum melihat ekspresinya begitu polos itu, sesuatu yang dulu bikin aku bergetar.

Sepanjang kerja aku tidak konsen. Memikirkan hubungan rumah tangga kami yang kurang hangat. Ini tahun ketiga kami bersama. Tiga tahun yang penuh kisah dan kehangatan. Namun akhir-akhir ini kenapa. Aku coba mencari-cari, apa dan kenapa bisa terjadi.

"Kapan sih kita punya momongan cin," katanya sebulan lalu saat liburan di vila biru Gunung Karang. 

"Mungkin nanti saatnya sayang," kataku merekatkan memeluknya. Dingin di pucuk gunung tertinggi di Pandeglang memang luar biasa.

"Ya, nantinya kapan?"

"Kan, kita sudah ikhtiar."

"Tapi ya kapan?" tanyanya merajuk.

Aku tahu, hatinya tidak sedang baik. Siapa sih yang tidak ingin punya momongan di usia pernikahan yang tidak lagi baru? Aku amat maklum. Tapi mau apa, toh kami sudah berusaha. Baik medis pun non medis. Allah tentu saja punya rencana lain yang belum kami pahami.

"Nanti ya, setelah kita punya pesawat pribadi."

"Ah kamu cin, aku pengen seperti perempuan lain. Jadi perempuan yang sempurna, punya buah cinta yang bisa jadi tanda kebersamaan kita. Aku capek terus ditanya, kapan punya anak? Kenapa belum juga punya momongan? Kenapa belum juga hamil. Sedangkan kamu tahu cin, teman-temanku sudah punya momomgan. Lah aku?!"

Dia pun menangis histeris di pelukanku. Aku memeluknya makin lekat. Membiarkannya menuangkannya semua gundahnya. Mendengarkan degup jantungnya yang berlari cepat, meluapkan ombak resahnya.

***

Karena pikirku tak lagi konsen, aku izin pulang lebih awal. Entah kenapa, bayangnya tergambar di pelupuk mata. Aku pacu kendaraan dengan cepat. Aku ingin bergegas datang ke rumah, melihat wajah kekasih halalku itu. Ada apa denganmu cinta?

Sesampai di rumah kegundahanku makin menjadi karena melihat keadaannya yang begitu lesu nan lemas. Cepat aku peluk dengan tangis yang entah tiba-tiba menyeruak.

"Kenapa kamu sayang?"

"Gak apa-apa sayang, aku sehat," jawabnya lemas dengan tatapan pucat.

"Jangan bohong kamu ah."

"Badanku lemas say," katanya, "dari tadi muntah terus. Mual."

"Sarapan di meja sudah di makan?"

"Sudah."

"Masuk angin kamu sayang?"

"Gak tahu."

"Mau berobat apa kerok ya?"

"Gak mau."

"Maunya apa?" 

"Pengen kamu!"

"Ah kamu, sini aa kasih minyak kayu putih."

Bergegas aku usapkan ke sekujur tubuhnya. Semoga saja memberi kehangatan. Tubuhnya bermandikan keringat dingin. Dia hanya tersenyum melihat cemasku. "Makasih ya sayang, maafkan sikap isterimu yang kerap bikin cemas."

"Dah ah, cepat sembuh dulu."

"Tapi akhir-akhir ini bikin kamu marah dan kesal sayang, maafkan ya?"

Belum juga aku jawab, tiba-tiba Owh.... bajuku basah oleh muntahannya. Aku makin cemas dan bingung, bergegas menuntunnya ke kamar mandi. Di kamar mandi muntahnya makin sering.

"Gak apa-apa sayang," ujarnya dengan wajahnya semakin pucat terlihat.

 "Kita ke dokter ya, wajahmu pucat sayang. Dah, jangan nakal."

Isteriku yang cantik makin girang melihat cemasku. Ia yang begitu kuyu menatapku dengan tatapan penuh cinta, lantas berbisik, :aku lagi hamil." 

Duniaku terasa gelap. Apalagi dengan diberi alat tes kehamilan, dan jelas terbaca: positif! Tubuhku terasa tak bertenaga. Aku hanya bisa memeluknya dengan tangis histeris. Ya Allah, terima kasih atas nikmat-Mu.  (***)

Pandeglang, 7 Agustus 2025   00.21

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun