"Tapi ya kapan?" tanyanya merajuk.
Aku tahu, hatinya tidak sedang baik. Siapa sih yang tidak ingin punya momongan di usia pernikahan yang tidak lagi baru? Aku amat maklum. Tapi mau apa, toh kami sudah berusaha. Baik medis pun non medis. Allah tentu saja punya rencana lain yang belum kami pahami.
"Nanti ya, setelah kita punya pesawat pribadi."
"Ah kamu cin, aku pengen seperti perempuan lain. Jadi perempuan yang sempurna, punya buah cinta yang bisa jadi tanda kebersamaan kita. Aku capek terus ditanya, kapan punya anak? Kenapa belum juga punya momongan? Kenapa belum juga hamil. Sedangkan kamu tahu cin, teman-temanku sudah punya momomgan. Lah aku?!"
Dia pun menangis histeris di pelukanku. Aku memeluknya makin lekat. Membiarkannya menuangkannya semua gundahnya. Mendengarkan degup jantungnya yang berlari cepat, meluapkan ombak resahnya.
***
Karena pikirku tak lagi konsen, aku izin pulang lebih awal. Entah kenapa, bayangnya tergambar di pelupuk mata. Aku pacu kendaraan dengan cepat. Aku ingin bergegas datang ke rumah, melihat wajah kekasih halalku itu. Ada apa denganmu cinta?
Sesampai di rumah kegundahanku makin menjadi karena melihat keadaannya yang begitu lesu nan lemas. Cepat aku peluk dengan tangis yang entah tiba-tiba menyeruak.
"Kenapa kamu sayang?"
"Gak apa-apa sayang, aku sehat," jawabnya lemas dengan tatapan pucat.
"Jangan bohong kamu ah."