"Dah ah, hayuk temani aa makan malam. Aa belum makan. Ini tadi beli nasi bungkus kesukaan kamu," ujarku mendinginkan susana.
"Gak mau, masih kenyang."
Aku tak ambil pusing, aku pegang tangannya dan tuntun ke meja makan. Meski agak meronta, toh dia mau juga. Aku tahu, dia belum makan setidaknya terlihat dari wajahnya yang layu. Kami pun makan dengan kesunyiaan. Sesuatu lain di fase hubungan kami.
***
"Aa berangkat dulu ya," kataku mengecup keningnya.Â
Pagi ini ia bangun kesiangan. Sampai jam 7 pagi masih lelap di mimpinya. Tak apa, mungkin dia kelelahan. Ketika aku pamit,ia terbangun dan terperanjat. Aku tersenyum melihat ekspresinya begitu polos itu, sesuatu yang dulu bikin aku bergetar.
Sepanjang kerja aku tidak konsen. Memikirkan hubungan rumah tangga kami yang kurang hangat. Ini tahun ketiga kami bersama. Tiga tahun yang penuh kisah dan kehangatan. Namun akhir-akhir ini kenapa. Aku coba mencari-cari, apa dan kenapa bisa terjadi.
"Kapan sih kita punya momongan cin," katanya sebulan lalu saat liburan di vila biru Gunung Karang.Â
"Mungkin nanti saatnya sayang," kataku merekatkan memeluknya. Dingin di pucuk gunung tertinggi di Pandeglang memang luar biasa.
"Ya, nantinya kapan?"
"Kan, kita sudah ikhtiar."