Mohon tunggu...
M Sanantara
M Sanantara Mohon Tunggu... Art Modeling

Metus Hypocrisis et Proditio. Scribere ad velum Falsitatis scindendum.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kematian: Kue Ulang Tahun Terenak di Planet Bumi

15 April 2025   01:09 Diperbarui: 15 April 2025   01:09 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sculpture on the Grave at the La Recoleta Cemetery in Buenos Aires, Argentina (Pexels/Gabriel Ramos)

Oleh M. Sanantara
Lokasi jiwa: persimpangan sunyi antara kelahiran dan penghabisan 
Suasana: muram, sakral, dan nyeri yang sunyi 
Kategori emosi: getir eksistensial, luka metafisik 
Simbol jiwa: anak domba cacat, kaset rusak, malaikat berdebu

**

yang hidup tidak boleh terlambat  
mengenal kematian; katanya akan  
sedini mungkin ia menjemput---  
saat yang muda masih ingin menulis  
kisahnya di peta yang sengaja disesatkan  
saat yang tua ingin meremajakan  
air matanya dalam sumur tanpa dasar

yang hidup tidak boleh terbiasa  
melewati kematian; katanya akan  
sedini mungkin ia menyajikan---  
saat yang putus asa ingin menenggak  
detik yang lahir cacat dari rahim anjing jalanan
saat yang berani mencoba memutari  
langkah yang terlalu lama dirawat  
dalam bayangan yang rapuh

kematian,  
dari mana muasalmu?  
untuk apa keberadaanmu?

apa pernah waktu  
tak membuat kita menunggu?  
apa pernah waktu  
tak menjebak kita dalam jatuh,  
keterpaksaan, luka tak bernama?

di mana kebebasan yang dijanjikan?  
haruskah kuseberangi cahaya ini  
meski tak pernah kutemukan ujung?

**

hari-hariku gugur  
di lantai hutan merah  
dihempas angin padang ilalang  
yang dua bidang tanahnya  
menyembunyikan:  
air mata,  
cetakan kaki,  
senyum ibu.

**


mengapa Tuhan,  
kematian terlalu dini menuntut bayar  
untuk hidup yang tak sempat jadi cerita?  
sebuah kaset rusak  
yang tak sempat diputar ulang  
oleh siapa pun  
kecuali jurang yang menangis  
karena ingin menyentuh langit

**

aku,  
di antara ketidakinginan dan keharusan  
membeku dalam pertarungan kasar  
di tubuh dunia yang bergetar  
melahirkan bayi-bayi resah  
di dada ayah yang kian dingin  
mereka dibesarkan untuk menjadi martir  
seperti domba cacat yang dilahirkan  
untuk disembelih

dan ternak-ternak itu tumbuh subur  
menyuburkan pembunuhan bayi  
oleh tangan yang seharusnya membelai  
oleh kasih yang menjelma kejahatan  
di perjamuan Hades  
yang memuja rencana bodoh mereka

**

maka kematian,  
kau disebut apa?  
kue ulang tahun terenak  
di planet bumi  
yang menikam dada  
mereka yang terlalu cepat merayakannya

dosa termanis  
yang hambar  
dan hampa

jiwa kita,  
telah bernoda sejak semula  
dan kita dihargai hanya  
oleh apa pun  
yang sanggup membeli keabadian  
dalam transaksi agung yang menjijikkan.

(2025)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun